Oleh: Azyumardi Azra, CBE*
TELAH cukup lama, pemerintahan berbagai Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan memberikan perhatian khusus dan menaruh harapan pada kaum Muslim Asia Tenggara. Fenomena ini misalnya terlihat dari ‘Suara dari Asia’, persisnya Asia Tenggara. Kian banyak harapan yang ditumpukan kepada negara-negara Asia Tenggara—khususnya Indonesia dan Malaysia, yang memiliki penduduk Muslim terbesar di Dunia Muslim untuk memainkan peran lebih proaktif dalam membantu berbagai masalah di dunia.
‘Suara dari Asia’. Inilah sebuah wacana menarik yang saya temukan dalam dokumen yang dihasilkan Majlis El-Hassan, Yordania, dengan Sasakawa Peace Foundation, Tokyo, Jepang dalam dokumen yang bertajuk “Voices from Asia: Promoting Political Participation as an Alternative for Extremism”.
Dokumen penting ini merupakan hasil dari Percakapan Meja Bundar yang diselenggarakan Majlis El-Hassan di bawah pimpinan Pangeran Hassan bin Talal dengan Sasakawa Peace Foundation di Amman, Yordania, pada 11-12 Juli 2006.
Kenapa ‘Suara dari Asia’? Khususnya dari Indonesia dan Malaysia? Hal ini tidak lain karena kawasan yang disebut dalam pertemuan tersebut sebagai WANA (West Asia and North Africa, yang juga biasa disebut sebagai Timur Tengah) ditandai banyak konflik, kekerasan, ekstrimisme yang berkepanjangan.
Banyak kalangan di kawasan WANA sendiri seolah sudah putusasa dengan situasi yang tidak menguntungkan itu, dan kini menoleh ke kawasan lain, khususnya Asia Tenggara.
Karena itu, ‘Dokumen Amman’ memandang perlunya keterlibatan aktor-aktor baru yang lebih netral, seperti pemerintah-pemerintah—dan organisasi civil society dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, untuk terlibat dalam usaha menyelesaikan konflik, ekstrimisme, dan militansi di kawasan WANA.
Indonesia dan Malaysia mereka harapkan dapat memberikan perspektif lebih segar untuk penyelesaian konflik dan ekstrimisme; dan pada saat yang sama memperkuat kerjasama, reformasi, dan rekonsiliasi politik; dan sekaligus memberdayakan pluralisme dalam Islam atas dasar pengalaman negara-negara Asia Tenggara tersebut selama ini.
Pihak ketiga dari Asia (Tenggara) atau Indonesia dan Malaysia yang diharapkan memberi sumbangan bagi penyelesaian berbagai masalah itu, mestilah perlu terlibat baik pada level kebersamaan di kawasan WANA, sehingga pada gilirannya dapat memfasilitasi rekonsiliasi dan sekaligus menerjemahkan keinginan untuk perdamaian di wilayah ini ke dalam proses perdamaian yang kongkrit.
Proses-proses seperti inilah yang memungkinkan terjadinya kepemilikan lokal, khususnya pemerintah-pemerintah dan organisasi civil society setempat.
Dalam laporan ‘Suara dari Asia’, lingkaran kekerasan yang terus meningkat di kawasan WANA haruslah diputus, dan diganti dengan proses dialog, demokrasi dan hukum yang adil dan efektif. Berbagai upaya juga harus dilakukan untuk memperluas dan memberdayakan partisipasi setiap warga masyarakat dalam pemerintahan demokratis pada level lokal dan nasional.
Peningkatan partisipasi politik tersebut seyogyanya tidaklah semata-mata dengan penyertaan para warga dalam rencana-rencana politik yang telah disiapkan sebelumnya; tetapi haruslah berkelanjutan atas dasar kesetaraan.
Partisipasi para warga yang berkelanjutan ini dalam pemerintahan mereka sendiri tak ragu lagi meningkatkan harkat dan nilai kemanusiaan.
Dalam konteks itu, perlu identifikasi civil society guna pemberdayaan mereka. Pada tahap selanjutnya perlu pengembangan konsep ‘kewargaan’ (citizenship) yang demokratis, yang memiliki komitmen pada ‘civic culture’ dan keadaban.
Lebih jauh, proses-proses politik yang terjadi di kawasan WANA sering memanipulasi identitas keagamaan sehingga mencapai tingkat ekstrimitas yang mencemaskan. Karena itulah peran civil society, khususnya yang berbasiskan keagamaan (religious-based civil societies) menjadi sangat penting untuk membendung proses-proses manipulasi politik yang berujung dengan ekstrimisme tersebut.
Civil society yang berbasiskan agama dengan demikian dapat terlibat lebih aktif dalam menghadapi ektrimisme. Dan, tidak kurang pentingnya, organisasi-organisasi civil society mesti memperkuat kerjasama antar- agama untuk menemukan nilai-nilai yang sama yang dapat membantu terciptanya saling pengertian dan kerjasama dalam menghadapi masalah bersama.
Apa yang dikemukakan dalam laporan dokumen ‘Suara dari Asia’, bukanlah sesuatu yang baru bagi wacana dan praktek kehidupan politik demokratis dan sosial kewargaan di Indonesia dan Malaysia.
Berbagai lembaga dan organisasi civil society telah, sedang dan terus memainkan peran penting dalam memperkuat demokrasi dan kehidupan sosial-politik yang harmonis dan damai.
Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim—di tengah keragaman sosial-budaya dan keagamaan dan politik demokratis yang terus berkembang dalam pandangan orang luar sekali lagi, telah menjadi contoh baik bagi masyarakat internasional.
Masalahnya kini, apakah kita mau memenuhi harapan itu; atau kita masih saja berusaha memenuhi harapan itu seadanya saja, tanpa upaya serius untuk lebih meningkatkannya.
*Azyumardi Azra, CBE, pernah menjadi Staf Khusus Wakil Presiden RI untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017- 20 Oktober 2019); anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK) Sekretaris Militer Presiden RI (2014- 2019, 2019-2024); Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta (2007-2011, 2011-2015). Dia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN 1998-2002, dan UIN 2002-2006).