YOGYAKARTA – Rumah Instan Struktur Baja (Risba) menjadi alternatif rumah yang aman menghadapi goncangan gempa. Di samping itu, bisa memenuhi prinsip berkelanjutan.
Hal itu disampaikan pengajar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM Ir Ashar Saputra ST MT PhD. Ia menerangkan desain Risba rancangannya secara struktur bangunan sudah melalui tahapan penelitian berupa analisis struktur, desain, dan pengujian di laboratorium untuk mengetahui kinerja ketahanan gempa sehingga dapat mencegah kerusakan berat yang kerap terjadi pada rumah saat gempa.
“Dari hasil pengujian di laboratorium, struktur Risba dapat memenuhi target kekuatan dan kekakuan untuk menahan beban gempa rencana dengan lokasi di Lombok Utara dan di Palu,” kata Ashar.
Ia memaparkan, jumlah rumah yang harus dibangun kembali karena rusak berat pada saat gempa terbilang cukup banyak, di antaranya lebih dari 400 ribu rumah pada gempa Aceh 2004, 250 ribu rumah pada gempa Yogyakarta 2006, 77 ribu rumah pada gempa NTB 2018, dan 65 ribu rumah pada gempa Sulawesi Tengah.
Secara teknis, kelemahan bangunan terhadap gaya gempa disebabkan oleh dua aspek sifat bahan bangunan yang digunakan yaitu sifat berat dan getas. Bahan bangunan berupa tembokan bata merah cukup berat sehingga gaya gempa yang harus ditanggung oleh struktur bangunan juga menjadi besar.
“Jika tidak tersedia kekuatan dan kekakuan yang mencukupi, bangunan rumah termasuk dinding pasangan bata akan runtuh. Keruntuhan dinding pasangan inilah yang pada gilirannya dapat menimpa penghuni rumah dan menimbulkan korban,” terangnya.
Sifat material bangunan rumah yang menyebabkan tidak tahan gempa adalah sifat yang getas atau mudah patah dengan adanya dorongan gempa. Pasangan bata dan komponen beton bertulang yang tidak memenuhi standar teknik akan bersifat getas sehingga mudah patah dan runtuh saat peristiwa gempa.
Untuk mencapai kualitas tahan gempa, awet, dan standar teknis, ia memilih bahan baja sebagai struktur utama. Secara mekanika, bahan baja memiliki perilaku yang ulet, liat, dan tidak mudah patah karena beban bolak-balik seperti yang ditimbulkan dari getaran gempa.
Selain itu, baja sudah tersedia di pasar dengan jumlah yang memadai untuk pembangunan secara massal dan sudah mengikuti standar SNI.
“Bahan baja memang tergolong mahal sebagai bahan konstruksi, namun dengan pemilihan penampang dan modifikasinya, persoalan harga ini bisa diatasi,” kata Ashar.
Rumah dengan teknologi Risba sendiri telah cukup banyak diterapkan pada proses rekonstruksi pasca gempa NTB, gempa Sulawesi Tengah, dan juga baru-baru ini dibangun unit rumah contoh di Pulau Adonara, NTT pasca bencana Badai Seroja.
Menurutnya, pembangunan rumah Risba di Adonara menjadi contoh bagaimana teknologi ini mudah dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat, di mana proses penjelasan teknis dilakukan hanya dalam waktu sekitar 2 jam kepada mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Maumere.
“Tim mahasiswa merakit semua komponen di Kota Maumere dan mengirimkan komponen rumah menggunakan kapal tradisional setempat ke Pulau Adonara. Proses perakitan di lapangan dilaksanakan juga oleh tenaga mahasiswa secara bergantian menggunakan peralatan sederhana yang tersedia,” paparnya. (*)