Kolom  

Pancing, Dahan Salak, Cangkul, dan 15 Tahun Menjadi Anak Sungai

Foto: Istimewa

PEMANCING yang baik sekarang harus membawa dua alat: Pancing dan cangkul. Pancing untuk menggoda ikan yang mungkin masih tersisa di antara bebatuan. Cangkul untuk spesies baru yang sangat banyak sekarang. Padahal, lima belas tahun lalu, saya dan kawan-kawan hanya butuh sebatang dahan salak dan segenggam cacing. Hari ini, penyelamatan ikan tenggelam lebih menantang.

Saya adalah anak sungai. Bukan kiasan. Depan dan samping rumah dialiri sungai. Sejak kelas tiga SD, sebagian besar waktu bermain dihibahkan pada alirannya yang keruh kecoklatan itu. Orang mungkin melihatnya sebagai sungai yang biasa saja, tapi bagi saya dan kawan-kawan sepermainan, ia adalah ladang sekaligus arena. Ladang ikan, dan arena adu tangkas.

Belum ada namanya. Sungai ini mengaliri Desa Jombang, Kabupaten Jember. Alirannya dari sungai tanggul, tapi nasibnya berbeda dengan sungai-sungai lain di sekitar yang airnya dialirkan untuk sawah. Sungai ini dibiarkan alami.

Joran kami bukan buatan pabrik tapi tumbuh dari tanah. Pohon salak di pekarangan memberikan dahan-dahan yang perkasa. Tinggal dipotong, dibersihkan durinya dengan telaten, lalu diikatkan senar di ujungnya. Batang salak menjadi saksi sebuah kemurahan alam yang hari ini menjadi sangat mahal.

Air sungai memang keruh membawa endapan lumpur, tapi saat surut sungai berubah menjadi sangat bening bak akuarium raksasa. “Itu, itu ikannya lagi gerak jalan!” teriak salah seorang kawan. Dan benar saja, kami bisa melihat gerombolan ikan berbaris, berkilauan diterpa matahari. Tak perlu strategi canggih. Umpan cacing yang kami gali sendiri dari tanah lembab, begitu menyentuh air, langsung disambut pesta pora.

Baca Juga:  Menaburkan Kedamaian di Tengah Perbedaan 1 Syawal

‘Keranjang berkat’ penuh ikan hal yang biasa. Bukan keberuntungan. Ibu di rumah sudah hafal betul tugasnya: menggoreng wader hingga garing, disantap dengan nasi hangat dan sambal terasi. Sebuah kemewahan sederhana yang hari ini butuh uang untuk membelinya. Sementara dulu hanya butuh kesabaran dan sebatang dahan salak.

Sungai sebetulnya lebih kaya dari sekadar wader. Jika bosan memancing, kami ganti profesi. Kami menjadi “pemburu”. Kami lepaskan sandal, singsingkan celana, dan masuk ke air yang sejuk. Membawa cangkul dan serok. Tangan kami merayap di antara bebatuan, mencari udang-udang kecil yang lincah. Kaki menginjak-injak dasar lumpur yang lembut, mencari tekstur keras dari cangkang kijing, kerang sungai jumbo berwarna hitam yang bersembunyi. Bahkan, jika sedang beruntung, bisa melihat sili, ikan licin seperti belut, menyelinap pergi. Ikan uceng yang kecil dan gurih juga menjadi bonus tak terduga.

Semua itu terjadi di tepian sungai yang masih berupa tanah liat dan akar pohon menjadi pegangan kami saat turun dan naik. Terpeleset lumpur licin di tepian sungai, hal yang biasa.

Baca Juga:  Saya Baik-baik Saja

Saya pikir, titik balik pertama yang bisa saya tandai saat suara mesin molen mulai terdengar di desa. Saat tepian sungai yang teduh dikeruk dan digantikan oleh plengsengan semen yang rapi. Saya tidak tahu pasti apakah dinding yang kaku itu berpengaruh langsung pada ekosistem ikan di bawah sana, tapi ia jelas telah mengusir kealamiannya. Tepian yang dulu menjadi rumah bagi akar, serangga, dan tempat kami duduk-duduk, kini hanya ditumbuhi rumput.

Namun, ada dampak lain yang jauh lebih fatal, yang baru saya sadari bertahun-tahun kemudian. Plengsengan yang lurus dan bersih ternyata berfungsi seperti sebuah “karpet merah” yang mempersilakan siapa saja untuk membuang sampah dengan lebih nyaman dan masif. Dulu, dengan tepian alami yang ditumbuhi semak dan pepohonan menjadi penghalang untuk melempar sesuatu ke sungai. Sekarang, tak ada lagi. Pinggiran sungai kini menjadi panggung terbuka yang begitu mudah diakses, dan sampah menjadi aktor utamanya.

Bukan sekadar tentang sungai yang sakit, tapi pada tangan-tangan yang tanpa henti menyakitinya. Plengsengan itu mungkin dibangun dengan niat baik untuk mencegah erosi. Tapi ia tanpa sadar telah membuka gerbang bagi kebiasaan buruk yang akhirnya membunuh sungai dari tepian.

Baca Juga:  Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban (I): Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara

Setelah gerbang itu terbuka, “spesies” baru mulai berdatangan ke dalam air. Sampah kain, kantong plastik, bungkus deterjen, botol minuman, hingga popok bayi, kini menjadi penghuni tetap. Kail pancing kami mulai sering putus. Tak cukup senar dan batang salak, sekarang harus membawa seluruh perkakas sebagai cadangan.

Satu per satu, para penghuni asli sungai menyerah. Saya tidak tahu mana yang pergi lebih dulu. Mungkin udang dan kijing, yang rumahnya di dasar lumpur telah tercemar. Kemudian uceng dan sili, yang tak pernah lagi menampakkan diri. Mereka semua kalah oleh para pendatang baru yang lebih tangguh: plastik, popok, dan segala macam buangan manusia.

Sekarang, di tahun 2025, saya masih setia memancing di sungai ini. Tapi peran saya telah berubah. Bukan lagi hanya seorang pemancing. Saya juga seorang petugas kebersihan. Saya menarik gumpalan kain, plastik, dan menyingkirkan popok. Semua itu agar senar pancing saya punya sedikit harapan untuk bisa menyentuh dasar sungai tanpa gangguan. Cangkul dulu untuk mencari kijing, sekarang untuk mencari sampah.


Yuniar Avicenna, pemancing, tinggal di Jember.

Tinggalkan Komentar