Adaptasi Dunia Baru, Seniman Wayang Mesti Rambah Jagat Virtual

Foto: Istimewa

YOGYAKARTA – Sebagai media komunikasi yang eksis sejak dulu, wayang masih relevan digunakan sampai sekarang. Guru Besar Jurusan Seni Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta Prof Kasidi menuturkan, wayang kulit menjadi salah satu media komunikasi yang digunakan dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Pergelaran wayang kulit cukup banyak digunakan untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan seputar upaya menghadapi pandemi tersebut.

“(Wayang berperan) mengomunikasikan budaya (kebiasaan) baru, mencuci tangan, memakai masker, dan lain sebagainya. Masalah pandemi itu begini, (jadi) kita harus begini,” tutur Kasidi dalam webinar ‘Peran Wayang Sebagai Media Komunikasi Menghadapi Pandemi’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, dalam rangka memperingati Dies Natalis Fakultas Filsafat ke-54, pada Sabtu 14 Agustus 2021.

Tidak hanya untuk mengomunikasikan pola kebiasaan baru, wayang kulit pun dijadikan media komunikasi atas kritik, keresahan, serta harapan masyarakat kepada pemerintah. Hal ini seperti lakon wayang tentang keresahan masyarakat terhadap kebijakan social distancing yang mengancam perekonomian mereka.

Kenapa masih relevan digunakan? Kasidi menjelaskan, sebuah karya lakon wayang dilatarbelakangi oleh proses kreatif dalam dialog antara dalang, penonton atau penanggap, dan lingkungan sekitar. Dalam proses kreatif tersebut, dalang kemudian menerima gagasan-gagasan dari berbagai pihak. Gagasan tersebut kemudian dikemas dalam kesenian sehingga dapat diterima dan menjadi menarik untuk didengar dan disaksikan.

Baca Juga:  Berbagi di Tengah Pandemi Covid-19, Warga di Purbalingga Bagikan Sembako Hasil Jimpitan

Kasidi menceritakan, ketika masa orde baru dahulu, wayang menjadi media komunikasi atas pesan-pesan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) yang digagas oleh pemerintahan orde baru kala itu. Kemudian ketika terjadi krisis moneter di Indonesia sekitar 1997, wayang menjadi media komunikasi atas pesan-pesan keresahan masyarakat.

“Setelah (1997) itu, semua lakon wayang berkonsep gugat. Dengan substansi isi adalah keinginan masyarakat atas keinginan reformasi saat itu,” ungkap Kasidi.

Masih terselenggaranya pergelaran wayang kulit sampai saat ini bukan berarti wayang kulit tidak memiliki ancaman. Sebuah karya lakon wayang mungkin dapat terus mengikuti perubahan kondisi di lingkungan masyarakat. Namun, dosen filsafat wayang dari Fakultas Filsafat UGM, Dr Iva Ariani, mengungkapkan, pergelaran wayang kulit saat ini tengah menghadapi permasalahan kelangkaan generasi.

Iva mengatakan, generasi baru sekarang tidak banyak mengenal “bahasa” wayang. Apalagi media komunikasi yang digunakan sekarang ini juga bukan media komunikasi yang selama ini digunakan untuk pergelaran wayang yakni media sosial. Untuk itu, dalam rangka adaptasi ke dunia baru, pergelaran wayang juga harus masuk ke dunia virtual.

Baca Juga:  Peringati May Day, Buruh Turun ke Jalan Pascalebaran

Ia menilai banyak dalang yang tidak bisa menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu, upaya pelestarian pertama sekali memerlukan literasi digital kepada para pekerja seni. Iva berharap semua pihak dapat mendukung dan ikut bekerja sama dalam upaya melestarikan salah satu media komunikasi penting dalam masyarakat Indonesia tersebut.

“Kita, seniman wayang, harus menyentuh dunia-dunia virtual karena disitulah banyak generasi muda. Hampir semua instansi pemerintah sudah menggunakan media sosial. Media sosial menjadi kunci penting bagi kita bagaimana kita bisa membuat masyarakat lebih mengenal wayang,” pungkas Iva. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *