TIMUR Pasar Kotagede merupakan pusat pelestarian dan pengembangan musik keroncong di Kota Yogyakarta. Ada tiga genre yang ditawarkan kepada peminat musik keroncong, yakni keroncong klasik, keroncong kolaborasi, dan keroncong milenial.
Pegiat keroncong, Erwito Wibowo, menjelaskan tiga genre keroncong dari Kotagede itu sebenarnya upaya untuk melestarikan, mengembangkan, dan mewariskan musik keroncong, sesuai yang diamanahkan para tokoh Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI).
Ketiga genre keroncong yang dibawakan Grup Orkes Keroncong Timpasko (Timur Pasar Kotagede), memiliki ciri masing-masing. Perbedaannya tidak hanya pada usia pemusiknya, tetapi juga teknik bermusik, gaya panggung, konteks, dan tema musiknya.
Genre keroncong klasik berkembang di era tahun 60 sampai 70-an. Lagu-lagu yang dibawakan umumnya berirama langgam Jawa dan keroncong murni. Keroncong klasik ini sampai sekarang masih ada penggemarnya, khususnya penggemar music keroncong yang usianya 40 tahun ke atas.
Sedangkan pada tahun 80 sampai 90-an, para remaja saat itu mulai menggemari musik keroncong. Namun musik keroncongnya sudah berpadu dengan genre musik lain, seperti pop, rock, jazz, dan lainnya. Era tahun 90-an terkenal dengan keroncong kolaborasi. Ada warna genre lain yang masuk ke irama musik keroncong.
Sekarang ini, mulai tahun 2010-an, kaum milenial mulai tertarik memainkan musik keroncong, namun disesuaikan dengan gayanya. Aransemen musik yang ritmenya lebih cepat dan rancak mewarnai panggung-panggung keroncong di berbagai tempat Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Yudhistira, Pimpinan Orkes Keroncong Timpasko Milenial, merasakan musik keroncong itu menarik, karena alunan iramanya mengikuti emosi. Namun, dirinya yang memainkan musik keroncong, memiliki pandangan terbuka. Siap berkolaborasi dengan jenis musik yang populer, baik itu bergenre pop, rock, jazz, atau lainnya.
“Agar tidak ditinggalkan masyarakat, maka kami berpandangan terbuka dan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kreativitas dalam bermusik keroncong,” ujar Yudhistira, kepada para mahasiswa Sekolah Tinggi Multi Media “MMTC” Yogyakarta yang membuat dokumenter musik keroncong beberapa waktu lalu.
Peningkatan kualitas dan kreativitas itu meliputi kolaborasi aransemen, regenerasi, dan cover lagu-lagu yang sedang digemari. Selain itu juga diperlukan panggung pentas bagi para pemusik keroncong kaum milenial. Panggung yang selama ini menjadi idaman para pemusik keroncong milenial, antara lain Pasar Lawas di Taman Budaya Yogyakarta dan Pasar Keroncong di sekitar Pasar Legi Kotagede.
Musik keroncong termasuk musik yang bernilai budaya tradisional Indonesia. Sehingga pemerintah punya tanggungjawab untuk melestarikan dan mengembangkannya. Selama ini yang dirasakan para pegiat musik keroncong Kotagede, seperti Erwita Wibowo dan Sudwiyanto, pemerintah masih belum memahami apa yang dirasakan oleh para musisi keroncong.
Dukungan pementasan, apalagi upaya pengembangan, aparat pemerintah masih mengkaitkan dengan objek wisata. Jika tempat pementasan tidak di lokasi objek wisata, maka pemerintah enggan mengucurkan anggaran. Jadi diakui atau tidak musik keroncong masih dipandang sebelah mata. (Ono)