Akibat Mentalitas Miskin, Bansos Sering Salah Sasaran

Ilustrasi Bantuan Sosial (Foto: Berita Satu)

YOGYAKARTA – Berbagai program bantuan sosial kepada masyarakat ditengarai banyak mengalami problem salah sasaran. Penyebab bansos salah sasaran salah satunya akibat faktor mentalitas.

Hal itu dikatakan Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si. Ia menilai mentalitas miskin masyarakat membuat bantuan sosial sering salah sasaran.

Indikasi bansos salah sasaran dapat dilihat pada fenomena ribuan ASN yang menerima berbagai jenis bantuan sosial yang bukan menjadi haknya.

“Jika mereka sadar bahwa ini bukan hak mereka, seharusnya segera dikembalikan. Bentuk-bentuk mentalitas miskin ini yang harus dibenahi agar program bansos juga tepat sasaran,” kata Hempri Senin 22 November 2021.

Ia menerangkan, bantuan sosial idealnya diberikan untuk mengatasi berbagai risiko sosial baik dari aspek rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan, dan penanggulangan kemiskinan.

Dengan demikian, program bantuan sosial ini diperuntukkan misalnya untuk masyarakat rentan dan masyarakat terdampak bencana. Persoalan pada penyaluran yang salah sasaran membuat kebijakan bantuan sosial menjadi kurang efektif.

Baca Juga:  UGM Kukuhkan Guru Besar Termuda Ahli Inderaja di Usia 35 Tahun

“Memang sudah banyak kebijakan bansos yang dilakukan pemerintah. Secara umum dapat saya katakan kurang efektif karena selain masih banyak salah sasaran, program-program bansos ini cenderung hanya menjadi pemadam kebakaran dan parsial,” ucapnya

Selain persoalan mentalitas, menurutnya terdapat sejumlah faktor yang mengakibatkan penyaluran bansos salah sasaran. Faktor pertama, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah/desa juga tidak berjalan dengan baik.

“Pemerintah kabupaten seharusnya lebih update terkait perkembangan data-data kemiskinan yang ada di wilayah masing-masing,” ucapnya.

Selain itu, menurutnya ada konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi/Kabupaten, dan sebagainya, dalam penyaluran bantuan sosial.

“Integrasi di antara program bansos yang satu dengan program yang lain kurang efektif,” terangnya.

Dampak dari banyaknya pintu untuk pendataan, muncul pula pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bantuan sosial.

Baca Juga:  KPU Purbalingga Gelar Nobar Peluncuran Hari Pemungutan Suara Pemilu Serentak

Ia berharap ada kesadaran dari para ASN penerima bansos untuk mengembalikan bantuan yang bukan haknya. Pemerintah perlu memberikan bukan sekadar anjuran tetapi kewajiban bagi para ASN ini.

“Dalam perspektif agama pun, menerima sesuatu yang bukan haknya juga tidak baik,” kata Hempri.

Menurutnya ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai polemik yang kerap muncul dalam pengelolaan dan penyaluran bansos, yaitu perbaikan manajemen data dan optimalisasi satu data nasional, serta harmonisasi dan sinkronisasi regulasi atau integrasi program-program bansos.

Selain itu, diperlukan pula perbaikan tata kelola program dan sistem evaluasi partisipasi, pengawasan bersama masyarakat, serta perbaikan mentalitas miskin masyarakat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *