YOGYAKARTA – Peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April setiap tahunnya, pada 2021 ini mengangkat tema Diam Berarti Tenggelam. Kali ini, beberapa komunitas maupun individu yang tergabung dalam aksi yang digelar di seberang Hotel 1o1, Selatan Tugu Yogyakarta, berduyun-duyun mengusung poster sembari berbalut masker di wajah masing-masing.
“22 April adalah hari bumi, di mana setiap manusia di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai momentum bahwa kita semua masih punya harapan bumi bisa pulih dan sehat kembali, sehingga bisa kita nikmati bersama,” tutur Wahyu Aji, koordinator lapangan aksi.
Sangat disayangkan, situasi iklim saat ini terbilang semakin menyedihkan. Apalagi, lanjut Aji, pemerintah masih kurang tanggap terhadap kebijakan perubahan iklim yang responsif gender. Sebab krisis iklim lebih berdampak pada perempuan, termasuk kelompok rentan seperti difabel dan para pekerja upah rendah. Hal tersebut juga bisa berdampak terjadinya kelaparan di mana-mana, serta bisa meningkatkan kesenjangan sosial.
Aji, yang juga bagian dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta mengungkapkan, dalam rangka memperingati hari bumi kali ini, para peserta aksi melakukan joget jagat. Yaitu tarian menolak punah karena krisis iklim yang diekspresikan dalam bentuk seni gerak.
Dengan begitu, kata Aji, pemerintah dan masyarakat secara luas bisa melihat protes-protes yang dilakukan. Terutama untuk menolak kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak atau bahkan memperparah krisis iklim di Indonesia, terkhusus di Yogyakarta.
Harapan mereka, pemerintah segera merespons situasi genting dengan sebaik-baiknya, dan secepatnya. Sebab, menurut Aji, bencana alam yang terjadi bukan murni karena fenomena alam, melainkan sudah terbukti merupakan ulah manusia.
Selain itu, adanya aksi tersebut bisa mendorong kesadaran kolektif masyarakat dan juga pemerintah. “Tidak berhenti di momentum itu saja. Akan tetapi berlangsung sampai semua pihak sadar secara kolektif. Kita perlu pulihkan keadaan krisis iklim ini dengan gerakan bersama. Kita tidak bisa menghindari situasi yang sudah sangat genting ini,” papar Aji
Tentunya, terang Aji, dibarengi dengan gerakan-gerakan kecil, bahkan juga gerakan masa yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan iklim. “Pemerintah seharusnya semakin aware dan concern terhadap isu krisis iklim yang semakin genting,” imbuhnya.
Sebab dampak nyata sudah terjadi di mana-mana, tambah Aji, dalam mendeklarasikan kebijakan terkait krisis iklim, banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah. Salah satunya, mendukung gerakan, baik individu atau kelompok yang proiklim. Dengan dibarengi kebijakan melarang aktivitas yang tidak ramah lingkungan. Seperti halnya eksploitasi alam yang dapat merusak ekosistem kehidupan di bumi.
Disampaikan Luqy, peserta aksi lain, alasan yang membuatnya ikut serta dalam barisan aksi tersebut karena sudah menjadi tugas manusia. Baginya, mempertahankan kelestarian bumi adalah perjuangan panjang yang menjadi tugas bersama.
Menurut Luqy, situasi iklim sudah semakin krisis. Untuk bisa mengetahui perbedaan musim panas dengan musim hujan saja, sangat membingungkan. Serta, waktu-waktunya susah diprediksi. Banjir, angin kencang, longsor dan bencana terjadi secara beruntun tanpa jeda. Belum lagi masalah sampah yang menggunung. “Wah, pokoknya permasalahan iklim saat ini sangat kompleks,” pungkasnya. (Septia Annur Rizkia)