Menuntut Deklarasi Darurat Iklim, Gerakan Jeda Untuk Iklim Gelar Aksi di Tugu

Foto: SAR/Wiradesa

YOGYAKARTA – Lalu lalang kendaraan datang silih berganti di sekitaran Tugu Yogyakarta. Aksi massa dengan wajah berbalut masker sambil mengusung poster berpencar. Mereka yang tergabung dalam Gerakan Jeda untuk Iklim menuntut Presiden Jokowi melakukan deklarasi darurat iklim.

Sana, salah satu peserta aksi mengungkapkan, aksi yang digelar pada Jumat, 19 Maret 2021, dalam rangka merespons situasi perubahan iklim yang terjadi di dunia. Sebelumnya, aksi yang disebut Global Climate Strike (GLC) tersebut dilakukan pada September tiap tahunnya.

Namun, lanjutnya, karena situasi krisis yang semakin menggila, diperparah dengan degradasi hutan, serta semakin tingginya permukaan air laut, membuat cuaca menjadi tak menentu. Di 2021 ini, aksi GLC diajukan pada Maret. Aksi ini diadakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berlangsung di beberapa kota seperti Jakarta, Malang, Medan, Makassar, Palangkaraya, Bandung, termasuk di kota Yogyakarta.

Aksi GLC 2021, menuntut pemerintah untuk menghentikan kebijakan-kebijakan yang bisa memperparah situasi iklim. Sana, yang juga anggota Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih ini mengatakan, hastag yang digaungkan dalam aksi kali ini yaitu #IklimGentingJanganGhosting.

Baca Juga:  SMSI Luncurkan Siberindo.co, Ketua Dewan Pers: Ada Secercah Harapan
Gerakan Jeda untuk Iklim menuntut Presiden Joko Widodo melakukan deklarasi darurat iklim. (Foto: SAR/Wiradesa)

Menurut Sana, perubahan iklim berdampak siginifikan terhadap kehidupan masyarakat, terutama para petani, khususnya petani lestari. “Petani akan sangat terganggu dengan terjadinya perubahan situasi iklim ini. Karena cuaca sudah tidak lagi bisa dipegang. Di masyarakat Jawa misalnya, ada istilah pranata mangsa. Sekarang, pranata mangsa sudah tak bisa dipegang,” urainya.

Sana mengambil contoh hujan deras yang terjadi di malam hari sebelumnya. Sedangkan siang harinya, sebagaimana hari itu. terasa sangat panas. Menurutnya, hal tersebut tidak terjadi hanya sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali beberapa tahun terakhir.

“Kita sering mengalami situasi seperti ini. Nggak ada mendung, Nggak ada apa-apa, tiba-tiba hujan sangat deras. Padahal baru saja panas,” ucapnya kemudian.

Sana melanjutkan, indikator yang menyebabkan kejadian seperti itu karena adanya situasi perubahan cuaca yang sangat ekstrem. Terutama persolaan naiknya emisi gas rumah kaca. Maka aksi yang digelar tahun ini, berupaya mendesak pemerintah untuk meninjau ulang atau bahkan mencabut kebijakan-kebijakan yang sifatnya destruktif, merusak lingkungan dan apa pun yang berpotensi memperparah situasi perubahan iklim.

Baca Juga:  Ajak Pelanggan Foto Selfi, Kiat Amin Kenalkan Ingkung Kanil

Sana berharap agar pemerintah mulai memikirkan dan mengonsep ulang konsepsi pembangunan ke depan, agar tidak bertumpu pada eksploitasi, serta pembangunan-pembangunan yang menghabiskan ruang terbuka hijau. Tak terkecuali banyaknya bangunan hotel dan perumahan-perumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tidak terkontrol. Masyarakat yang terdampak sudah merasakan efek dari pembangunan tersebut, salah satunya kekurangan air di musim kemarau panjang.

”Seperti di beberapa komunitas, rakyat miskin kota, mereka harus membeli air ketika musim kemarau panjang, diperparah dengan banyaknya bangunan hotel menggunakan air tanah. Sementara, kondisi air tanah semakin menurun akibat perubahan iklim,” paparnya.

Sedangkan persoalan cukup serius yang terjadi di negara ini, salah satunya di DIY, yaitu hilangnya 250 hektar lahan terbuka atau lahan pertanian pada 2019. Untuk data terkini, pada 2020, DIY telah kehilangan 400 hektar lahan produktif/tahun. “Artinya, kalau bicara lahan produktif, di situ berbicara soal lahan terbuka hijau. Pertanian, di sektor persawahan, perkebunan, dan sebagainya. Dan itu adalah ruang-ruang yang bisa menyerap emisi gas rumah kaca,” jelas Sana.

Baca Juga:  Pagelaran Dongeng Jogja 2022 Menghibur dan Mencerahkan Ribuan Penonton, Termasuk Puluhan Anak Bisu Tuli
Peserta aksi dengan wajah berbalut masker mengusung poster berpencar (Foto: Gerakan Jeda Untuk Iklim)

Senada dengan Sana, Sya, peserta aksi lainnya, memiliki keresahan yang sama. Perempuan kelahiran Jakarta yang sedang menempuh pendidikan di DIY ini, sedari kecil sudah mengeluhkan kondisi bumi yang semakin hari berisi beton. “Padahal kan, seharusnya ada keseimbangan,” katanya.

Bagi Sya, makhluk hidup di bumi tidak hanya manusia saja. Melainkan ada banyak komponen lain yang juga sama-sama mencari kehidupan.

Seiring bertambahnya usia, keresahan yang ia rasakan mulai terjawab. Sya merasa, kebijakan yang ada lebih condong dilihat dari sudut pandang manusia saja. Sampai akhirnya, akibat ulah manusia, alam mulai tidak stabil dan makhluk lainnya akan terganggu.

Warna merah, darah buatan yang ditumpahkan ke tubuh Sya, merupakan bentuk kampanye untuk menjaga alam. Sebab, jika manusia masih saja berulah merusak alam, bencana banjir bisa tak sebatas air, manusia juga bisa ikut punah. Yang terjadi nantinya, banjir lautan darah. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *