Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan sejak Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis dari Fakultas Sekolah Vokasi, Yudistira Hendra Permana, S.E., M.Sc., Ph.D., mengatakan kondisi deflasi di Indonesia yang diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun nanti. Menurutnya, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menelaah lebih lanjut faktor penyebab dan mengetahui efek jangka pendek hingga panjang untuk memahami situasi penurunan harga secara umum dan gradual ini.
Meski masih terdapat beberapa pro dan kontra mengenai deflasi. Menurut Yudistira deflasi hanya dipahami dimana harga barang dan jasa lebih murah daripada sebelumnya dan konsumen diuntungkan. Padahal, deflasi mengindikasi daya beli masyarakat yang menurun dan produsen terpaksa menurunkan harga jual.“Hal-hal tersebut juga diperparah dengan penurunan penerimaan pajak karena penurunan aktivitas ekonomi, termasuk adanya risiko pengangguran,” kata Yudistira dalam Sekolah Wartawan yang bertajuk Deflasi di Indonesia: Analisis, Dampak dan Dinamika Pasar yang berlangsung di ruang Fortakgama, Gedung Pusat UGM, Kamis (31/10).
Ia menyebutkan, kelompok masyarakat yang terkena dampak dari kondisi deflasi ini adalah para petani, nelayan dan pelaku UMKM. “Yang kena petani, nelayan , dan umkm bermain di barang kebutuhan pokok tadi,” katanya.
Jika situasi ini tidak dikendalikan, imbuhnya, ia memprediksi penerimaan pajak yang ditargetkan pemerintah jelas akan turun karena aktivitas dan daya beli masyarakat yang menurun, apalagi gelombang PHK akhir-akhir ini. “Resiko dari deflasi adalah urusan pajak, jika aktivitas dan daya beli melemah, siapa yang akan akan jor-joran spending? PPN dan PPh akan turun,” katanya.
Di bidang kebijakan moneter dan fiskal, Yudistira menghimbau pemerintah untuk mengevaluasi beberapa proyek yang menurutnya salah langkah sehingga hanya sia-sia belaka dan berdampak pada pendanaan negara yang tidak bermanfaat. “Dalam hal ini, pemerintah seharusnya bisa memilih dan memilah mana proyek yang tidak mengganggu kestabilan ekonomi,” ujar Ketua Prodi Manajemen dan Penilaian Properti, Fakultas Sekolah Vokasi.
Ia mengingatkan saat deflasi terjadi secara berkepanjangan, maka ada resiko kecenderungan ancaman krisis ekonomi. Sebab secara lambat laun harga bahan pokok pangan akan kian mahal sedangkan kemampuan konsumen untuk membeli sangat rendah. Untuk mengatasi hal ini, Yudistira berharap institusi pengendali mampu meningkatkan agregat demand dengan kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penaungan bisnis serta proyek yang tidak salah arah. Sehingga diperlukan kebijakan yang mampu mendorong kemampuan daya beli masyarakat kian meningkat. “Penurunan kemampuan daya beli masyarakat ini akibat tekanan ekonomi, meski kurs rupiah stabil dan kuat, namun kemampuan daya beli masyarakat yang melemah, tetap saja barang yang dibeli terasa mahal,” pungkasnya. (*)