Belajar Jurnalisme dari Almarhum Ki Hadjar Dewan tara, Ki H. Samawi, KRMT. Soemanang Notonagoro, dan M. Wonohito

 Belajar Jurnalisme dari Almarhum Ki Hadjar Dewan tara, Ki H. Samawi, KRMT. Soemanang Notonagoro, dan M. Wonohito

Wartawan Wiradesa.co, Sihono HT membacakan Al Fatihah untuk almarhum Ki H. Samawi, Kamis (15/2/2023). (Foto: Wiradesa)

INSAN pers di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis 16 Februari 2023, berziarah ke makam tokoh pers nasional yang dimakamkan di Yogyakarta. Beberapa makam yang diziarahi itu, antara lain makam Ki Hadjar Dewantara dan Ki H. Samawi di Taman Makam Wijaya Brata Tamansiswa, makam KRMT. Soemanang Notonagoro di Pasareyan Sonyoragi, dan makam M. Wonohito di Makam Pringwulung.

Para wartawan dari berbagai media di Yogyakarta yang dipimpin Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY Drs. H. Hudono SH juga mendoakan sejumlah tokoh pers lainnya, seperti R. Mashuri Darmosugito yang dimakamkan di Wijaya Brata, Dr. H. Soemadi M. Wonohito SH di Pringwulung, H. Koeswandi dan Suwariyun di makam Krapyak. Ziarah ke makam tokoh pers ini dalam rangka Hari Pers Nasional 2023 dan Hari Ulang Tahun ke-77 PWI.

Puluhan wartawan dari media cetak, televisi, radio, dan media siber yang bertugas di Yogyakarta dan sekitarnya mendoakan dan ingin meneladani apa yang dilakukan para tokoh pers yang telah menorehkan sejarah berharga bagi perkembangan pers di Indonesia. Tokoh pers yang menjadi perhatian para jurnalis itu, Ki Hadjar Dewantara, KRMT. Soemanang Notonagoro, M. Wonohito, dan Ki H. Samawi.

Ki Hadjar Dewantara atau Soewardi Soeryaningrat lahir 2 Mei 1889 dan wafat 26 April 1959. Kemudian KRMT. Soemanang Notonagoro lahir 1 Mei 1908 dan wafat 13 Juni 1988. Sedangkan M. Wonohito lahir 14 Juni 1912 wafat 6 April 1984, dan Ki H. Samawi lahir 15 Agustus 1913 wafat 4 Juni 1984. Mereka semuanya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, cinta pada bangsa dan negara Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara merupakan penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Karya tulisan yang memerahkan telinga penjajah Belanda, antara lain berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) dan “Als ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda).

Baca Juga:  PWI DIY Gelar Jalan Sehat HPN 2023

Akibat tulisan tersebut, Ki Hadjar Dewantara ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Penangkapan ini mendapat protes keras dua rekannya, Ernest Dauwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada akhirnya ketiga tokoh pergerakan itu ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Mereka bertiga terkenal dengan “Tiga Serangkai”.

Dalam pengasingan Ki Hadjar Dewantara aktif bersoalisasi bersama organisasi pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau – Kantor Berita Indonesia. Di sinilah, ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan masyarakat Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara mendapat ijazah pendidikan bergengsi di Belanda “Europeesche Akta”. Kemudian pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, Ki Hadjar mendirikan National Oderwijs Institut Taman Siswa dengan prinsip dasar “Patrap Triloka”. Tiga prinsip itu “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan). Patrap Triloka ini sekarang menjadi panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Sedangkan KRMT. Soemanang Notonagoro yang juga dikenal dengan nama Mr. Soemanang Soerjowinoto merupakan salah satu pendiri Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937. Dia menjadi Ketua Umum PWI Pusat pertama saat organisasi wartawan ini didirikan di Surakarta 9 Februari 1946. Pendirian organisasi wartawan ini sekarang dikenang menjadi Hari Pers Nasional.

Mr. Soemanang bersama tokoh pers nasional lainnya menamakan diri Barisan Pers Nasional dan gerakan ini hanya memiliki satu tujuan: “Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat”.

Jiwa nasionalisme yang tinggi dan terus berjuang tidak mengenal lelah untuk bangsa dan negara yang dijalankan para tokoh pers itu yang akan diteladani para wartawan sekarang. Meski situasi dan kondisinya berbeda, tetapi semangat untuk menjaga persatuan dan kesatuan, mempertahankan Pancasila dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap akan terus berkobar di jiwa para wartawan muda. (*)

Redaksi

Mandirikan Desa Sejahterakan Rakyat

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar

%d blogger menyukai ini: