Kolom  

Honor Tulisan Pertama Rp 25 Ribu

Dokumentasi tulisan pertama. (Foto: Wiradesa).

MENARIK ide, menuangkan ide, mengetik kata pertama, berkelana dengan kata-kata berikutnya, sampai memungkasi naskah berdasar data fakta akurat, narasi menarik, kesannya sulit. Kesan itu tampak sekali pada forum-forum pelatihan menulis kreatif hingga workshop jurnalistik.

Meski audiens terlihat intens mengikuti arahan narasumber –bisa wartawan, penulis buku, praktisi penulisan kreatif– ketika sesi praktik menulis pada penghujung acara, sudah lazim lebih banyak yang buntu. Terdiam lima menit, sepuluh menit. Memeras otak, belum ketemu ide mau menulis apa.

Bagi yang sudah menemukan ide, masih terdiam lagi, mau dari mana dan bagaimana untuk memulai. Apa ya kata pertama, kalimat pertama pembuka tulisan. Ketika kalimat pertama selesai lanjut kalimat kedua, ketiga. Sampai kelar paragraf pertama. Nah, masih mikir lagi buat paragraf kedua dan seterusnya.

Rasa yang kurang lebih sama pernah saya alami. Saat pertama kali mulai belajar menulis. Sekitar 2005. Walau begitu, tulisan berita pendek tentang sebuah kegiatan anak SD dekat rumah di Kebumen, terbit. Masuk rubrik liputan berita Yunior (Liberty). Yunior, suplemen tabloid bacaan anak milik Harian Suara Merdeka yang cukup beken kala itu. Terbit 12 halaman, berukuran kecil. Terbit tiap Minggu. Isiannya macam-macam, selain berita, ada cerita anak, cerita bergambar, rubrik jelajah, rubrik tips, resensi buku anak, hingga dongeng.

Sebagai pemula banget waktu itu di dunia tulis-menulis maka model tulisan pendek dan simpel sengaja dipilih. Ibarat kata hanya model 5w plus 1H. Yang terpenting naskah terbit. Sebagai penulis pemula, menembus media kala itu tidaklah mudah. Para pesaing para penulis lepas banyak juga dari berbagai daerah. Sama-sama mengirim naskah. Dan pastinya bagus-bagus. Bersaing di rubrik macam cerpen anak tentu berat.

Baca Juga:  Bukan Wartawan Kok Menulis Berita?

Akhirnya bermodal tulisan pendek tiga paragraf berjudul: Dari MAPSI SD Se Kecamatan Pejagoan 2005, naskah terbit. Rasanya gembira. Kiriman naskah yang dikirim via pos nongol juga. Gembiranya lagi, beberapa waktu berselang, honor tulisan dikirim. Nominalnya Rp 25 ribu. Sejak saat itu, makin getol kirim naskah. Upah Rp 25 ribu memang tak seberapa. Tetapi menjadi pelecut. Bahwa saya bisa! Keyakinan kita bisa kita mampu sangat penting.

Dan ternyata benar. Dari angka Rp 25 ribu, kreativitas menulis terus terpacu. Setiap saat muncul ide, langsung menulis. Gonta-ganti rubrik. Kirim ke berbagai media massa yang kiranya menampung karya penulis lepas. Untuk dapat tayang lagi harus sabar menunggu. Ada istilah antre naskah. Ada juga kompetisi. Di meja redaksi pastinya menumpuk kiriman naskah.

Zaman itu, bagi penulis yang ingin karyanya lebih sering tayang tak sedikit dari mereka ngebom naskah. Kirim naskah secara ganas. Tak pakai menunggu kiriman lama tayang, sudah kirim lagi. Walaupun sebenarnya tidak jaminan juga kirim banyak naskah menjamin banyak tayang. Kalau meningkatkan probabilitas jelas iya. Karena, para redaktur punya kebijakan tersendiri dalam urusan seleksi naskah. Bagaimana isinya, relevan dengan kondisi terbaru atau tidak, konten tulisan, gaya tulisan menarik atau tidak hingga urusan rasa bahasa.

Baca Juga:  Franz Beckenbauer, Sukses Sebagai Pemain dan Pelatih Timnas Jerman

Jadi bagi penulis lepas soal naskah tidak langsung tayang, antre atau malah gagal tayang, hal yang amat lumrah. Apalagi bagi penulis pemula. Namanya belum lama berkecimpung di dunia tulis-menulis. Dari sekian banyak kiriman naskah wajar tak semua lolos seleksi redaksi. Hanya sebagian kecil lolos dan akhirnya tayang.

Persoalan mencari ide, terbatasnya kemampuan masih menjadi kendala. Namun, saya terus mencoba. Menulis apa pun. Begitu ada ide nulis langsung catat dan eksekusi. Tulis, kirim. Tak peduli tayang atau tidak. Dengan kirim naskah makin banyak tentu peluang ada naskah yang nyantol makin kuat. Jadi, bagi yang mau memulai dunia tulis-menulis, semangat menggebu modal paling utama. Selebihnya urusan tayang atau tidaknya serahkan 100 persen kepada seleksi editor atau redaksi suatu media.

Bila materi naskah berupa draf buku berarti yang menentukan dari pihak penerbit. Di penerbitan buku bisa jadi seleksi lebih ketat ketimbang seleksi naskah di media cetak atau online. Banyak pertimbangan sebuah teks layak terbit sebagai buku atau tidak. Pertimbangan kualitas naskah hingga siapa penulisnya, peluang laku tidaknya buku bila naskah terbit. Bahkan di era digital konon berapa jumlah folower atau subscriber si penulis di akun medsosnya turut menjadi bahan pertimbangan dalam penerbitan sebuah buku.

Baca Juga:  Prioritas Pemanfaatan Dana Desa

Sehingga terbit perdana atau tayang pertama sebuah artikel, cerpen, puisi, karya buku atau karya tulisan lainnya ibarat sebuah prasasti. Tayang, terbit artinya sudah ‘pecah telur’. Sekali terbit akan menjadi penyemangat bagi penulis untuk menelurkan karya-karya berikutnya. Tayang perdana, terbit perdana akan menjadi sugesti positif dari dalam diri penulis. Energi tayang perdana begitu luar biasa. Setelah terbit perdana, terus biasakan menulis agar ‘otot’ menulis makin terlatih.

Meski kadang berjeda, tulisan-tulisan saya makin berjaya. Pada 2007 tembus rubrik Wacana Lokal di Suara Merdeka juga merambah media lain termasuk Kompas edisi Minggu, di halaman khusus anak-anak.

Kini, di era media online peluang menulis masih terbuka. Beberapa media online tercatat membuka diri kepada rilis berita atau tulisan opini. Hanya saja soal honor tulisan barangkali tak semua memberikan. Ada yang memberi ada juga yang tak berhonor. Berhonor atau tidak, tak ada salahnya bila mau mencoba kirim naskah. Untuk melatih kemampuan menulis. Agar makin terasah.

Jika kemampuan menulis sudah terasah, pengalaman menulis sudah teruji dan jam terbang liputan (bagi wartawan) sudah tinggi, maka rezeki menulis akan lebih mudah menghampiri.


Sukron Makmun perangkai kata di wiradesa.co

Tinggalkan Komentar