Kelompok Tani Purboasri, Sukai Tanaman Sebelum Menanam

Papan kayu bertuliskan “Nandur Opo Sing Dipangan, Mangan Opo Sing Ditandur” (Foto: Wiradesa)

KOTA YOGYA – Kawasan di tengah perkotaan mengharuskan siapa saja yang masuk mesti melewati gang-gang kecil. Di kawasan itu terdapat kebun sayuran dan juga deretan drum berisi ikan lele. Setelah ditelisik, perkebunan tersebut milik kelompok tani Purboasri.

Terletak di Jl Purbayan No 1272, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, perkebunan tersebut dihiasi pagar berwarna-warni serta jembatan yang di atasnya tergantung semacam bola-bola. Hal menarik lainnya, terlihat papan kayu yang bertuliskan, “Nandur Opo Sing Dipangan, Mangan Opo Sing Ditandur”.

Saat ditemui pada Rabu, 7 April 2021, Yuraida, salah seorang anggota kelompok tani Purboasri mengatakan, usia kebun mereka terhitung masih baru, yaitu sekitar Maret 2020.

Kebun yang berada di kawasan padat penduduk ini merupakan salah satu program dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY yang diberi nama Lumbung Mataram. Menurut Ida–sapaan akrabnya, ada tiga tempat yang dipilih untuk dijadikan Lumbung Mataram. Salah satunya, kebun kelompok tani Purboasri.

Sebelumnya, dana yang mereka peroleh berupa barang yang berkaitan dengan kebutuhan pertanian urban farming di kota. “Dikhususkan untuk kebun, tidak boleh untuk yang lain,” kata Ida.

Baca Juga:  578 Keluarga di Kalurahan Baturetno Terima Bantuan Sosial Pangan

Sebelum pandemi, Ida menyampaikan, kelompok tani Purboasri sudah terbentuk, tapi belum bisa optimal. Selain terbatasnya dana, mereka juga memiliki pekerjaan masing-masing. Ditambah, tidak ada pihak yang memonitor mereka.

Usai memperoleh bantuan, mereka mencari lahan milik warga yang masih kosong, kemudian meminta izin untuk dijadikan tempat bertani.

Ida mengaku, anggota kelompok tani Purboasri tidak ada yang memiliki latar belakang petani. Oleh karena itu, keahlian mereka di bidang menanam dan merawat tanaman terbilang masih minim. Sebelum memulai, kata Ida, kuncinya harus senang dulu dengan tanaman.

Karena terhitung baru, semangat mereka masih bagus. Namun, ke depannya nanti, Ida belum bisa memastikan. “Kelompok semacam ini kan juga banyak. Yang kemudian nggak aktif lagi, juga ada. Yah bagaimana, menjaga semangat itu memang nggak mudah,” terangnya seraya merekahkan senyum di wajah.

Kelompok yang terdiri dari 20 anggota tersebut, diperkirakan ada 13 anggota yang masih aktif hingga saat ini. “Masih lumayan. Masih ada yang menjalankan,” lanjutnya.

Selain bertani, mereka juga beternak ikan lele. Seperti kelompok tani lainnya, mereka selalu menyirami tanaman mereka ketika tidak ada hujan dan itu cukup dilakukan sekali dalam sehari. Uniknya, mereka tidak menjadwalkan. Dengan kesadaran diri, setiap sore hari, mereka saling berdatangan untuk menyiram maupun menengok pertumbuhan tanaman.

Baca Juga:  Dukung Program Mina Padi, Wartawan Bali Tebar Benih Ikan di Subak Sembung

Berangkat dari pengalaman selama aktif di kelompok tani, bagi Ida, menjadi petani itu tidak mudah. Selain itu, merupakan pekerjaan mulia, patut mendapat apresiasi.

Disebut organik atau tidak, Ida tidak begitu mempersoalkan. Secara teknis, mereka menggunakan pupuk kandang, kompos, serta air bekas lele, sebagai nutrisi tanaman. Namun, menurut Ida, hal tersebut tidak lantas menjadikan tanaman tersebut murni organik. Sebab, organik membutuhakn perawatan yang jelas dan konsisten. Termasuk ketika dalam satu wilayah ada yang menggunakan pupuk kimia, tidak menutup kemungkinan air dari lahan itu mengalir ke lahan lain, salah satunya kebun mereka.

Ida mengeluhkan, sampai sejauh ini masih dihadapkan dengan persoalan hama. Meskipun memperoleh solusi dari pihak lain, kasus tersebut belum bisa terselesaikan dengan baik. Baginya, solusi untuk kasus di setiap tempat itu berbeda.

Persoalan lain, walaupun banyak pihak mengatakan tanah di kebun mereka itu subur, pada kenyataannya, hasil yang mereka dapatkan belum bisa maksimal. Meski begitu, Ida tetap mengapresiasi usaha dan kerja keras kelompok tani mereka.

Baca Juga:  Rektor Ajak Semua Pihak Dukung Program Merdeka Belajar

Terkait hasil penen, sejauh ini masih mereka jual di kalangan sendiri, terutama di RW tempat tinggal mereka. “Untuk warga sekitar saja sudah habis. Nanti hasil penjualannya kami putar lagi, buat biaya akomodasi kebun,” imbuh Ida.

Terakhir, Ida menambahkan, tujuan awal dari adanya kebun Purboasri ialah untuk ketahanan pangan. Dalam skala kecil, minimal untuk satu RW terlebih dahulu, dijual dengan harga di bawah pasar. “Intinya, kami ini masih belajar sambil jalan, ya sambil kerja juga,” pungkasnya. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *