Mahasiswa KPI IAIN Madura Ikuti Diskusi Jurnalistik di PWI DIY

Mahasiswa KPI IAIN Madura saat berkunjung ke Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi DIY. (Foto: Wiradesa)

YOGYAKARTA – Jurnalistik bukan bidang yang sama sekali baru bagi mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Madura. Secara teori mereka telah mempelajari ilmu jurnalistik dan penulisan berita.

Namun apa yang didapat dan dipelajari di kelas dirasa belum cukup hingga mereka masih berniat untuk lebih memantapkan diri lagi dengan belajar kepada berbagai pihak yang dalam keseharian mempraktikkan ilmu jurnalistik. Hal itu disampaikan Dina Islamiyah mahasiswa semester 6 KPI IAIN Madura mewakili 28 rekan-rekannya saat berkunjung ke Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi DIY dan diterima Ketua PWI DIY Hudono didampingi Sekretaris PWI DIY Swasto Dayanto, Sabtu 18 Juni 2022.

“Pernah kerja lepas jadi wartawan tapi akhirnya tidak sanggup melanjutkan karena kesulitan untuk membagi waktu,” kata Dina saat menceritakan pengalamannya di dunia kewartawanan. Ia pun mengakui beratnya kerja sebagai wartawan meski ketika itu hanya sebagai wartawan lepas sambil kuliah.

Menanggapi hal itu, Hudono mengatakan imej bahwa seorang wartawan sulit mengatur waktu, hidup kurang teratur. “Anggapan itu tak keliru tapi tak sepenuhnya benar. Soal waktu tentu kembali kepada masing-masing bagaimana mengatur jadwal berbagai kegiatan yang padat. Ada beberapa liputan beda tempat waktu hampir bersamaan. Wartawan profesional pasti bisa mengatasi,” ucap Hudono.

Baca Juga:  MK Selayaknya Tolak Judicial Review UU 40/1999 tentang Pers

Kinerja wartawan, lanjut Hudono, dilandasi cara berpikir ilmiah namun dalam penyampaiannya menggunakan bahasa publik yang populer. Tak sedikit pula wartawan yang nyambi mengajar sebagai dosen. “Dalam konteks kekinian di tengah kompleksitas rutinitas sehari-hari, dunia jurnalistik menghadapi tantangan berat dari media sosial,” ungkapnya.

Dikatakannya, meski sama-sama memproduksi informasi, informasi yang berasal dari medsos tak bisa disebut sebagai produk jurnalistik sekalipun unggahan informasi bisa lebih cepat. Begitu ada kejadian langsung posting dan dibagikan.

“Tapi sekali lagi yang semacam itu bukan produk jurnalistik. Kalau ada kekeliruan, hoaks, ujaran kebencian mau lari ke mana. Paling arahnya UU ITE. Sementara jurnalistik beda. Ada aturannya seperti tertuang dalam UU Pers,” ujar Hudono menjelaskan perbedaan dalam bermedia antara media pers dan media sosial. Selain diatur UU, media pers mainstream juga harus patuh dan taat pada aturan kode etik jurnalistik (KEJ).

Di samping memenuhi berbagai aturan seperti verifikasi media oleh Dewan Pers, jurnalis atau wartawan profesional juga mesti mengikuti uji kompetensi wartawan. “Bila datang pendaftar mengaku wartawan mau ikut UKW tapi dicek ternyata bukan dari media pers seperti pada aturan UU Pers, dari pengelola blog atau apa, pendaftar tersebut bakal dicoret,” imbuh Hudono.

Baca Juga:  Andy Setiawan, Mantan Wartawan Jadi Pengusaha Roti Beromzet Miliaran Rupiah

Di hadapan para mahasiswa diterangkan pula berbagai aspek seputar kewartawanan, tentang kesejahteraan wartawan, meminimalkan risiko kekerasan kepada wartawan, hingga disinggung kisah kelam pembunuhan wartawan Udin yang hampir 30 tahun belum terungkap.

Dalam diskusi hampir satu jam, para mahasiswa didampingi dosen sekaligus pengurus PWI Pamekasan M Khaerul Umam. (Sukron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *