Maizidah Salas: di Masa Pandemi Perempuan Makin Rentan Jadi Korban Trafficking

WONOSOBO – Demi mewujudkan harapan berdaya secara ekonomi, Maizidah Salas akhirnya mengambil keputusan untuk merantau sebagai pekerja migran. Merantau apalagi sebagai pekerja migran sudah barang tentu satu pilihan berat. Namun bertahan di kampung halaman pada saat itu juga teramat menyiksa.

Perempuan yang akrab disapa Salas menceritakan, dirinya gagal lulus SMA, karena mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh kakak kelas pada saat usia 16 tahun. Hal tersebut berujung pernikahan paksa dengan pelaku. Impian menjadi dokter pun kandas di tengah jalan.

Pada usia yang masih belia, hari-hari perempuan asal Tracap, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah, dipaksa berkutat mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Pernikahan dengan penuh keterpaksaan tersebut berujung dengan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Sementara, Salas harus menghidupi anak serta membantu ekonomi kedua orang tua. Lewat seorang calo di desa, ia diantar ke satu PT di Jakarta.

Agustus 1996, Salas diberangkatkan ke Korea untuk bekerja di sebuah pabrik. Belum genap dua tahun, pabrik tersebut gulung tikar akibat krisis global yang melanda dunia 1998. Akhirnya, Salas melarikan diri sebelum dipulangkan oleh agensi. Baru dua bulan bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal, pabriknya digrebek polisi. Salas pun ditahan selama 16 hari, kemudian dideportasi.

Tak lama di Indonesia, lewat seorang calo, Salas berangkat ke Taiwan. Yang rencananya akan bekerja di pabrik, tapi uangnya ketipu 10 juta. Salas pun pindah ke sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) tanpa sepengetahuan keluarganya.

Baca Juga:  Adaptasi Dunia Baru, Seniman Wayang Mesti Rambah Jagat Virtual

Salas mengisahkan, agensi telah menipunya. Baru beberapa bulan bekerja, ia selalu dipindahkan dengan alasan tidak dapat bekerja dan majikan tidak menyukai. Setelah mengetahui, ternyata itu adalah modus agensi di Taiwan untuk terus mendapatkan potongan gaji dari TKI.

Saat menjadi TKI, Salas juga pernah mengalami pelecahan oleh agensi, “Saat itu saya nggak tahu harus mengadu ke mana,” tuturnya pada Rabu, 10 Maret 2021. Impian bekerja di Taiwan sebagaimana yang dijanjikan calo itu tidak sesuai dengan kenyataan. Alih-alih mendapatkan banyak uang, ia mengalami kekerasan dan eksploitasi. Bekerja dari pukul 04.00 pagi sampai pukul 01.00 malam, tidak boleh libur, tidak digaji, paspor juga dipegang oleh agensi.

Berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, Salas memutuskan melarikan diri dan memilih menjadi pekerja ilegal. Namun, ia kembali mengalami eksploitasi. Dipindahkan dari satu majikan ke majikan yang lain, dan tanpa dibayar.

Pada 2002, masih dengan status pekerja ilegal, Salas mendirikan Taiwan Indonesia Migrant Workers Association (TIMWA) bersama para pekerja migran yang lain. Kegiatannya belajar, menginformasikan perlindungan, serta membantu pekerja migran yang bermasalah. Dari situlah, keinginan dan kepedulian Salas membantu TKI yang bermasalah mulai terasah. Hingga pada suatu hari, Salas tertangkap polisi dan dideportasi usai mendekam di penjara selama 19 hari.

Setelah kembali ke Tanah Air, Salas bertekad untuk turut berjuang menegakkan hak-hak pekerja migran, serta membantu mengadvokasi kasus-kasus perdagangan orang. Akhirnya, perempuan berusia 44 tahun ini memutuskan mengikuti kejar paket C dan kuliah mengambil jurusan hukum, dengan biaya dari hasil kerja kerasnya.

Baca Juga:  Siswa SMAN 1 Kejobong Purbalingga Antusias Ikuti Vaksinasi Covid-19

Sembari kuliah dan bekerja, Salas juga mulai mengorganisir korban perdagangan orang yang mayoritas adalah mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di desa tempat ia berada. Dalam perjuangan itu, Salas kerap dipandang sebelah mata. Bahkan banyak yang meragukan, niat baik Salas kerap tak dipercaya.

Ketika Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) DPC Wonosobo ini aktif menangani kasus korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Salas juga mengalami intimidasi dari pelaku. Namun, dengan tekad yang kuat, bersama enam orang lainnya, mereka terus melawan, dan berhasil mendirikan SBMI cabang Wonosobo, yang saat ini beranggotakan 960 orang.

Berbagai kegiatan pemberdayaan hingga advokasi kebijakan, terus mereka gaungkan. Usaha dalam mendorong terbitnya Peraturan Daerah perlindungan PMI yang kemudian berlanjut dengan penyusunan Peraturan Desa perlindungan PMI, dan pencegahan TPPO di 10 desa yang ada di Wonosobo, berhasil dicapai.

Bekerja sama dengan Kemendikbud dan KPPPA, mereka juga membuat film pencegahan TPPO yang sudah sukses ditayangkan dan ditonton di dalam maupun luar negeri. Dari semua yang telah dilakukan, Salas menerima penghargaan Anti Trafficking in Person Hero 2018, dari pemerintah Amerika Serikat. Bagi Salas, penghargaan tersebut bukan akhir dari jalan perjuangannya. “Saya dan SBMI akan terus melakukan upaya-upaya pencegahan TPPO melalui kampanye, pemberdayaan ekonomi desa, penanganan kasus dan advokasi kebijakan,” lanjutnya.

Baca Juga:  Warga Kuden Tolak Rentenir dan Bank Plecit

Salas juga mengeluhkan, di masa pandemi Covid-19, perempuan semakin rentan menjadi korban trafficking. Sebab semakin gencarnya para calo melakukan perekrutan. Keluarga PMI menjadi kehilangan remitan mereka, karena deportasi dan repatriasi masal ke Indonesia. “Sementara, lapangan pekerjaan di dalam negeri tidak tersedia. Selama pandemi ini, organisasi kami menerima laporan sebanyak 643 korban TPPO yang 54%-nya adalah perempuan,” urai Salas, Pendiri Sekolah PAUD Migran Ori School.

Namun, penanganan kasus menjadi terkendala, karena kantor pemerintah tidak optimal memberikan pelayanan akibat kebijakan bekerja di rumah. “Maka, menurut saya, perempuan, termasuk perempuan korban trafficking seperti saya, surviver, harus bisa turut berjuang dan memimpin perlawanan terhadap TPPO,” tegasnya.

Sepanjang 2010-2020, SBMI mendokumentasikan total aduan kasus sebanyak 3.099 kasus. Tren peningkatan pertahunnya mencapai rata-rata 20,75%, dengan aduan tertinggi terjadi di 2020 sebanyak 643 kasus.

Dalam 10 tahun terakhir, sektor pekerja rumah tangga menempati urutan tertinggi, yaitu sebesar 55,44% (1.718 kasus), diikuti oleh kasus Anak Buah Kapal (ABK) Perikanan sebesar 14,23% (441 kasus), kasus TPPO modus pengantin pesanan sebesar 1% (31 kasus), dan kasus buruh pabrik sebesar 13,78% (427 kasus). Sedangkan sisanya 15,55% adalah jenis dari sektor pekerjaan yang lainnya. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *