KULONPROGO – Kolonjono banyak dijadikan sebagai pakan hijauan bagi ternak sapi. Rumput kolonjono di samping mudah dibudidayakan juga dipercaya sebagai pakan hijauan yang baik bagi ternak.
“Sehari butuh setidaknya dua ikat kolonjono untuk diberikan pagi dan sore. Kalau sore ditambah satu ikat damen,” tutur Sugiyem (66) peternak sapi limousin asal Padukuhan Kroco RT 21 RW 12, Sendangsari, Pengasih.
Induk sapi betina milik Sugiyem atau akab disapa Mbah Giyem yang dipelihara saat ini berusia 4 tahun dan sudah dua kali menghasilkan pedet. Sekali dijual, anakan sapi betina usia 5 bulan dan laku Rp 8 juta. “Kalau pedet jantan langsung dijual. Tapi kalau pedet betina maunya dipelihara. Asal tak ada kebutuhan besar tak akan langsung dijual,” tutur Mbah Giyem saat menerima wiradesa.co, Minggu 24 Oktober 2021.
Mbah Giyem pun gembira pasalnya si induk sapi yang tiap hari dirawat dan dicarikan pakan tengah bunting lagi. Baginya, punya ternak sapi bukan sekadar sambilan namun menjadi suatu yang pokok. Apalagi pakan rumput kolonjono selalu tersedia di galengan sawah yang dia garap. “Pernah beberapa tahun tak punya ternak lembu karena induknya mati. Tapi setelah beberapa lama kandang dibiarkan kosong akhirnya beli lagi. Punya stok pakan buat apa kalau tak punya lembu,” imbuhnya.
Sumber pakan rumput kolonjono didapat dari sawah garapan Mbah Giyem seluas 1200 meter milik warga Donomulyo Nanggulan. Sebagai penggarap, ibu dari tiga anak itu berhak beroleh separuh panen padi. Sementara galengan ditanami rumput kolonjono. “Sepanjang musim rumput kolonjono selalu tersedia. Musim hujan musim kemarau persediaan cukup. Mudah sekali tumbuh dan cukup dikasih pupuk urea agar subur,” ucapnya.
Karena punya dua ternak sapi, pergi ke sawah berjarak 8 kilometer dari rumah bagian dari rutinistas harian. Selain buat ndaut, menanam padi, matun, memupuk dan panen, mencari dan membawa pulang kolonjono pun dijalani saban hari. “Ada kesibukan lain membuat sapu sabut kelapa. Tapi kerjaan itu setelah urusan di sawah dan mencari pakan ternak selesai. Membuat sapu dari proses perendaman bahan baku hingga perakitan serabut jadi sapu. Karena disambi dengan pekerjaan di sawah untuk produksi sapu tak bisa dipastikan dalam setiap bulan bikin berapa. Sekuatnya saja,” terang Mbah Giyem.
Tekun, telaten dan giat bekerja diakui Mbah Giyem sebagai kewajiban yang mesti dijalani. Apalagi sang suami Abdul Jalil akibat kondisi kesehatan tak memungkinkan lagi bila harus bekerja ke sawah dan memberi pakan ternak. Sehari-hari, urusan garap sawah dan memberi pakan sapi dia dibantu anaknya Sudarmaji misalnya memboncengkan ketika pergi ke sawah dan pulang sore hari sembari mengangkut rumput kolonjono sebagai pakan utama ternak sapi.
“Sering saya dibonceng motor duduk di atas rumput kolonjono. Jalan pelan-pelan. Sesampai di rumah memberi pakan sapi,” pungkasnya. (Sukron)