PESONA Bukit Mintorogo menarik perhatian para tokoh pegiat pariwisata di kawasan Prambanan. Karena perbukitan ini, puncaknya paling tinggi dan sunyi, menyimpan sejarah, dan memancarkan sinar bagi peradaban manusia.
Karena terusik dengan misteri itu, para pegiat wisata kawasan kaldera Gunung “Purba” Sumilir Prambanan, Senin 31 Juli 2023, melakukan survei ke Bukit Mintorogo. Bukit yang masuk daerah administrasi Dusun Bendo, Gayamharjo, ini dianggap sakral dan memancarkan energi positif.
Keempat pegiat wisata, Ndoro Klentheng, Masbeng Haer, Wiwid Jurang, Hartono Drone, dan Ono Wiradesa sepakat menaiki bukit yang penuh misteri tersebut. Sebelum naik, mereka berkumpul dan berdiskusi di Kopi Jurang Wukirharjo, milik Wiwid Jurang.
Ndoro Klentheng, tokoh generasi pertama yang menginisiasi Tebing Breksi menjadi destinasi wisata, menceritakan jika para pinisepuh atau orangtua di wilayah Gunungkidul dulu, khususnya yang tinggal di Gedangsari, Patuk, dan Nglipar, kalau malam melihat Bukit Mintorogo memancarkan sinar. Sehingga mereka berkeyakinan bukit yang ada di Dusun Bendo itu ‘wingit’, ada sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Sedangkan Wiwid Jurang dan Masbeng Haer yang tempat tinggalnya di Wukirharjo dan Sumberharjo, jalur menuju Bukit Mintorogo menjelaskan jika di atas Bukit Mintorogo ada bangunan Stupa, dan berserakan batu candi yang berlatarbelakang agama Buddha. Selain itu juga ada batu besar, sebagai tempat pertapaan.
Dalam diskusi yang berlangsung serius tapi santai siang itu juga terungkap jika di Bukit Mintorogo dulu sebagai tempat mengasah atau latihan kanuragan para prajurit kerajaan. Cerita ini relevan dengan namanya Mintorogo, yang artinya minta raganya kuat, kebal terhadap senjata dan berani jika diajukan ke peperangan.
Namun sebagai pegiat pariwisata, Ndoro Klentheng memprediksi Bukit Mintorogo bagus untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata minat khusus. Dengan posisinya, sebagai bukit tertinggi di Kawasan Kaldera Gunung Sumilir, dan berbagai cerita sejarahnya, maka terbitnya matahari akan terlihat indah dan bermakna jika dinikmati dari puncak Bukit Mintorogo.
Usai berdiskusi dan makan siang Soto Jurang, sekitar pukul 14.00, para pegiat pariwisata, langsung gas naik ke Bukit Mintorogo. Jalan menuju ke puncak, cukup ekstrem. Mobil tidak bisa sampai ke puncak. Untuk mencapai puncak, harus jalan kaki. Sebelum sampai puncak tertinggi ada beberapa pos istirahat.
Sesampai di puncak Bukit Mintorogo, ternyata apa yang didiskusikan dan informasi yang didapat oleh para pegiat pariwisata, sebagian besar benar. Tetapi ada yang tidak sesuai ekspektasi atau rencana sebagai destinasi minat khusus, yang menawarkan indahnya saat terbit matahari.
“Bayangan saya, jika berdiri di atas Bukit Mintorogo akan terlihat jelas saat matahari terbit. Karena proses Sunrise itu dianggap sesuatu bagi turis asing,” ujar Ndoro Klenteng. Ternyata di sisi timur Bukit Mintorogo terdapat hutan tanaman keras dan keberadaan tanaman itu mengganggu pandangan saat ingin melihat Sunrise.
Namun di atas Bukit Mintorogo memang ada Stupa. Sesuai dengan literatur arkeologi, Stupa merupakan salah satu ciri bangunan candi berlatar belakang agama Buddha. Awalnya Stupa itu dibangun untuk menyimpan abu jenazah Buddha Gautama. Tetapi di berbagai daerah, termasuk di sekitar Prambanan, Stupa untuk menyimpan abu jenazah dan relik para Bhiksu.
Mencermati posisi bangunan Stupa yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, maka Ndoro Klentheng memperkirakan, dulu yang tinggal di Bukit Mintorogo adalah kaum Brahmana, kasta tertinggi di agama Buddha. Sehingga masyarakat di sekitar Bukit Mintorogo, khususnya Dusun Bendo Kalurahan Gayamharjo, harus berbangga diri, tidak berkecil hati, bukan tidak mungkin keturunan Brahmana.
Adanya cerita dari pinisepuh, para orangtua di Gunungkidul, bahwa Bukit Mintorogo, kalau malam memancarkan sinar, mengusik pikiran para pegiat pariwisata. Namun Ndoro Klentheng mencermati sejarah adat istiadat nenek moyang dan ungkapan orang dulu itu penuh dengan perlambang. Orang Jawa bilang “Kebak Sanepo”.
Jangan-jangan pancaran sinar dari Bukit Mintorogo itu merupakan perlambang jika kelak keberadaan bukit ini akan menyinari masyarakat sekitar. Mencerahkan dan menghantarkan masyarakat desa sekitar akan meraih kebahagiaan yang hakiki. (Ono Wiradesa)