Menjemput Rejeki Adang-adang Penjual Ayam

Adang-adang ayam di jalan menuju Pasar Pleret Bantul, DI Yogyakarta, Senin Pon (2/12/2024). (Foto: Wiradesa)

Adang-adang ayam menjadi profesi bagi masyarakat perdesaan di Jawa, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pekerjaan ini dijalankan di pagi hari sampai pasar tradisional tutup atau selesai.

Di wilayah DIY dan Jateng, pasar tradisional menganut pasaran Jawa, yakni Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon. Pasar tradisional menjadi ramai jika bertepatan dengan pasaran Jawa yang disepakatinya bersama.

Misalnya di Pasar Kotagede, ramai jika harinya di pasaran Legi. Sedangkan Pasar Pleret ramainya di pasaran Pon dan Kliwon. Kemudian Pasar Jejeran ramainya di pasaran Legi dan Paing.

Sehingga jika hari pasarannya Legi, maka orang-orang yang pekerjaannya Adang-adang Ayam akan berjejer di pinggir jalan menuju Pasar Legi Kotagede.

Pasar Legi Kotagede merupakan pasar tradisional tertua di Yogyakarta. Pasar ini didirikan saat Kerajaan Mataram Islam tahun 1549 atau abad ke-16. Lokasi pasar itu dulunya alas Mentaok.

Sedangkan pada Senin Pon, 2 Desember 2024, pasar tradisional yang ramai adalah Pasar Pleret. Warga yang pekerjaannya adang-adang, berjaga atau mencegat penjual ayam di pinggir jalan menuju Pasar Pleret Bantul.

Baca Juga:  Polres Purbalingga Antar Siswa yang Selesai Jalani Isoter

Tampak di pertigaan Ngipik, ada dua orang yang kerjanya adang-adang, satu pakai sepeda onthel dengan kronjot atau keranjang dan satunya pakai sepedamotor dengan kronjot. Yang pakai sepeda bernama Bonidi, warga Kalangan Baturetno, yang pakai sepedamotor Haryanto, warga Jambidan Banguntapan.

“Kulo sing ngadang penjual ayam, mangkih Mas Haryanto sing mbeli terus didol ten pasar (saya yang menghadang penjual ayam, nanti Mas Haryanto yang membeli dari saya lantas menjualnya lagi ke pasar),” ujar Bonidi, tukang adang-adang yang memakai sepeda, Senin (2/12/2024).

Saat Wiradesa berbincang dengan Bonidi, warga Kalangan Baturetno, tiba-tiba pengadang itu melambaikan tangannya tanda menghentikan pengendara sepedamotor yang membawa keranjang ayam. Orang biasa tidak tahu jika pengendara sepedamotor itu penjual ayam.

Kalau warga yang setiap hari berprofesi sebagai Adang-adang Ayam mengerti mana pengendara sepedamotor yang menjual ayam atau tidak. Mereka juga sudah saling tahu dan paham harga ayam kesehariannya.

Namun mereka tetap tawar menawar harga. Seperti yang barusan distop Bonidi, dia menawarkan seekor ayam jagonya Rp 130.000, tapi Bonidi menawar Rp 80.000. Karena tidak ada kesepakatan harga, penjual ayam jago meneruskan perjalanannya ke Pasar Pleret.

Baca Juga:  Terjatuh Dari Tebing Grendan, Anggota Polsek Kokap Terbawa Arus Pantai Jungwok

Tidak begitu lama, ada lagi orang yang membawa dua ekor ayam. Penjual menawarkan harga Rp 110.000, setelah tawar menawar akhirnya jadi dibeli Rp 80.000. Selanjutnya Bonidi menjual langsung ke Haryanto, pengepul ayam warga Jambidan Banguntapan yang nanti akan menjualnya ke pasar tradisional.

Rantai jual beli ayam di perdesaan, dari penjual ke pihak yang menghadang di jalan (adang-adang), terus ke pengepul, dan dijual lagi ke pasar tradisional. Bagi warga perdesaan, ayam (Jowo) itu tabungan dan bisa dijual langsung setiap saat. Jika ada kebutuhan mendesak, uang tidak tersedia, maka tinggal jual ayam. (Ono)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *