KULONPROGO – Bersepeda selama kurang lebih tiga jam, terasa belum cukup bagi Robbi dan Mandy, wisatawan asal Belanda. Kepada Muntowil, pemandu yang menemani bersepeda menikmati keindahan alam pedesaan di Kalurahan Banguncipto Sentolo, mereka mengaku sangat terkesan. Terkesan dengan hamparan sawah dan suasana pedesaan.
“Robbi terdiam cukup lama ketika melihat sawah. Dia bilang sangat takjub dengan suasana alam dan budaya agraris yang dominan di pedesaan. Sebelum sepedaan dia pesan minta dibikinkan pisang goreng,” kata Muntowil, owner Towilfiets saat ngobrol dengan wiradesa.co, sepulang mengantar dua tamunya bersepeda, Jumat 3 Februari 2023.
Kabar kedatangan Robbi dan Mandy hendak berwisata sepeda, ungkap Towil, terbilang mendadak. Malam hari baru berkabar bila siang itu mau berkunjung ke Towilfiets. Beruntung, sebagai pemandu sepeda, dia tengah kosong tak ada kegiatan atau jadwal. Towil pun segera menyiapkan diri seraya berpesan kepada Rus, istrinya, agar memasak makan siang dan pisang goreng pesanan Robbi.
“Menyambut Robbi dan Mandy, disiapkan empat sepeda. Dipilih dua. Sepeda Philip dan Batavus. Cocok langsung jalan memutari desa,” tambah Towil. Kehadiran tamu bule di pedesaan Banguncipto menjadi hal biasa bagi warga sekitar tempat tinggal Towil. Meski begitu, para warga tetap memberi sambutan hangat.
Di SD Muhammadiyah Banguncipto, Robbi dan Mandy digandeng anak-anak kelas V dan VI. Anak-anak menyapa, bertanya akrab, mulai berkenalan nama, asal negara hingga menanyakan siapa pemain sepakbola favorit dan klub bola kesukaan. Beberapa menit singgah menyapa anak-anak sekolah, Towil mengajak keduanya memutari sawah, melihat aktivitas membajak sawah dengan mesin traktor. Tak hanya menerangkan seputar sirkulasi pertanian padi dari menyiapkan tanah hingga panen, Towil bahkan didapuk mengoperasikan mesin traktor hingga membuat Robbi tambah tertarik dengan pertanian padi di sawah. “Sedikit belepotan kena lumpur namun sudah cuci kaki dan tangan, tadi diminta menjalankan traktor,” ujar Towil.
Seperti biasa, ia kemudian menerangkan pembuatan emping melinjo di rumah salah satu warga. Sembari menceritakan ihwal pohon melinjo, Robbi dan Mandy sempat merasakan langsung ketika menggigit emping melinjo sebelum dan sesudah digoreng. Masih di Banguncipto, Towil mengajak sang tamu menuju ke rumah pembuat stagen. Di situ, Mandy mencoba mengenakan baju dan bawahan tradisional dengan belitan stagen di bagian perut. Rupanya, Robbi dan Mandy sangat tertarik dengan kunjungan wisata sepedanya. Termasuk pada kunjungan ke rumah perajin tempe kedelai. Ia menulis di buku kesan-kesan para pengunjung yang disediakan.
“We really liked the tour, the experience, and the lokal food! The people very nice and sweet,” tulisnya.
Tulis Nama Tamu
Tiba di joglo Towilfiets sekitar pukul 13.00, tawaran minum kopi atau teh disampaikan Towil. Disusul kemudian menu makan siang nasi putih, sayur lodeh, sop bakso, ayam goreng, tempe garit, pecel dan tak lupa pisang goreng pesanan Robbi.
Sambutan khas ala Towil kepada tamu selain memberi suguhan kuliner setempat juga menuliskan nama tamu atau lembaga ke papan tulis kecil dan diletakkan pada meja sebelah ujung. Sembari bersantap siang, Robbi dan Mandy yang mengambil dua tempe, mengaku telah beberapa kali menikmati tempe. Dia pun menyebut sejumlah masakan Indonesia. Rendang, sate, bakmi, soto. “Apa pun dia coba,” canda Mandy sembari melirik ke arah Robbi.
Tamu seperti Robbi dan Mandy, menurut Towil seperti kebanyakan tamu-tamu mancanegara lain. Meski membidik wisata bersepeda menyisir jalur wisata pedesaan, tepi sawah, namun tak pernah ribet memilih sepeda. Tetapi, sebagai pengelola, Towil telah menyiapkan sepeda sebaik-baiknya sehingga sepeda-sepeda yang ada terbilang siap pakai walau semua masuk kategori sepeda tua.
“Para tamu tak terlalu memikirkan sepeda. Mereka lebih berpikir kehidupan di desa yang bakal dikunjungi. Sepeda sekadar sebagai alat. Lebih kepada fungsi. Penyesuaian pun cepat. Tinggi sadel sesuai, kayuhan nyaman, biasanya langsung nyepeda,” paparnya.
Sepeda bermerk Burgers, Gazzele, Humber, Rudge, Raleigh juga Philip dan Fongers banyak tersedia. Sepeda-sepeda bikinan Belanda, Inggris, Jerman itu umumnya didapat Towil dari perburuannya ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan Yogya. Meski koleksi hampir menyentuh angka 200 unit sepeda namun Towil masih ingin menambah koleksi sepeda. Tak hanya kondisi sepeda mulus siap jalan yang dia beli. Belasan sepeda rusak tak lagi bisa jalan pun dia ‘amankan’ alias dibeli dan ditaruh di kediamannya untuk dibangun kembali.
“Misinya menyelamatkan sepeda, melestarikan dan memfungsikannya. Jadi sekarang tak ada niatan buat menjual sepeda,” ujar Towil.
Merawat ratusan sepeda lawas, Towil berlangganan dengan tiga bengkel sepeda. Spare part mudah didapat. Selain beli dan stok spare part, terkadang sistem kanibal ia terapkan kala terjadi kerusakan. “Perawatan luar cukup cuci, oli, semir. Kalau ada kerusakan ditangani bengkel meski saat mengantar tamu juga selalu membawa peralatan servis bengkel. Tak lupa pula bawa kotak P3K, mantol hujan, air minum dan jajanan tradisional,” imbuh Towil.
Terlanjur gandrung dengan sepeda, Towil mengatakan, semua sepeda di tempatnya tak ada yang ia istimewakan. Semua sepeda dipakai secara bergantian. Sebab, semua sepeda menurutnya, memberi sumbangsih. Pemakaian sepeda secara bergantian dimaksudkan pula untuk menghindari kerusakan sepeda lantaran lama tak terpakai. (Sukron)