Pak Je, Jualan Kayu Bakar, Sarapan Karak Nasi Direndam Jlantah

Carik Sambirejo Mujimin SSos atau akrab disapa Pak Je saat bersilaturahmi dengan Siti Markomah, gurunya saat bersekolah di SD Katekan 2 Gantiwarno Klaten. (Foto: Wiradesa)

ADA momen haru saat Carik Sambirejo Kapanewon Prambanan Sleman Mujimin SSos bertemu dengan gurunya saat dia masih duduk di Sekolah Dasar. Dari rumahnya di Sambirejo sosok yang akrab disapa Pak Je sengaja berkunjung ke rumah Siti Markomah, gurunya saat ia belajar di SD Negeri Katekan 2, Sangiran, Katekan Gantiwarno, Klaten.

Kurang lebih satu jam perjalanan bermotor, Pak Je mengenang pula perjalanan ketika ia masih SD, bagaimana harus berangkat pagi-pagi jalan kaki menuruni lereng perbukitan menuju sekolahnya. Sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer lebih sedikit ditempuh melewati jalur terjal lereng bukit sehingga waktu tempuh bisa mencapai setengah jam lebih.

Pak Je sengaja bersilaturahmi ke rumah Siti Markomah yang sudah pensiun mengajar dan tinggal di rumahnya di Cageran Tamanmartani Kalasan, Sleman. “Ibu Siti Markomah ini dulu berangkat ke sekolah di SD Katekan 2 yang saya ingat, beliau mengayuh sepeda. Tapi tidak pernah datang telat ke sekolah. Padahal rumahnya jauh, dari Tamanmartani ke sekolah,” kenang Pak Je, belum lama ini.

Baca Juga:  Mahasiswa Universitas Wiraraja Belajar Digitalisasi di Kalurahan Sambirejo

Kepada Siti Markomah, Pak Je menuturkan ingatan-ingatannya saat bersekolah dulu. Menanyakan keberadaan para guru lain, dan menyampaikan selama ini sangat ingin bertemu dan baru berkesempatan bisa berkunjung lagi dan bertemu setelah tamat sekolah lebih dari dua puluh tahun lalu. “Dulu Ibu Siti Markomah ini mengajar semua mata pelajaran sebagai guru kelas. Semua guru berkesan tapi Ibu Siti Markomah ini tak pernah marah, beliau sangat sabar mendidik murid-muridnya,” ujar Pak Je.

Pada kesempatan itu, Pak Je pun bercerita kembali ke masa lalu. Dulu untuk menambah uang saku sekolah sudah mulai membantu cari uang dengan jalan mencari kayu bakar ke hutan. Tiap minggu bersama beberapa sahabat karib ia turun gunung, berjalan bertelanjang kaki menuju Pasar Taji berjarak belasan kilometer dari rumah demi menjual kayu bakar.

“Dulu biasa memanggul kayu, leher cengeng, kaki pegal tetap dijalani. Sebab kalau tak jualan kayu, tak bisa jajan. Sisa jualan kayu, uangnya ditabung di bambu, dibongkar saat Lebaran,” terangnya.

Baca Juga:  Temu Keluarga Besar Aslam Hady: Indahnya Kebersamaan
Pasar Taji di Prambanan Klaten tempat dulu Pak Je menjual kayu bakar bersama teman-teman tiap Minggu pagi. (Foto: Wiradesa)

Saat paginya mau jualan kayu ke Pasar Taji, malam harinya Pak Je dan beberapa teman ngumpul bareng di salah satu rumah. Agar paginya bisa berangkat bareng. Sebelum berangkat terlebih dahulu sorenya ngentun atau nglangsir kayu agar turun dulu jarak satu kilometer. Biar saat ayam berkokok pertama kali mereka tinggal berangkat dan menghampiri kayu yang telah diturunkan dulu dari rumah di perbukitan. Berpenerangan oncor, mereka berjalan menuju Pasar Taji.

Tiba di pasar, kayu ditawarkan. Bila beruntung, sebelum sampai pasar kayu bakar itu terkadang telah laku terjual dalam perjalanan. “Kalau laku semua, dari memanggul kayu bakar pulangnya bawa uang sekitar Rp 250. Zaman dulu sudah bisa jajan  roti dan beli bakmi. Pulang dari pasar biasanya masih mencari bonggol tebu dan dijual di kampung,” imbuhnya.

Pak Je mengaku, saat zaman sekolah dulu selalu giat kerja keras. Selain mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke Pasar Taji, Pak Je juga kuat ikut kerja di proyek bangunan. “Orang zaman dulu sangat nerima. Bayangkan, untuk sarapan menunya karak nasi yang direndam pakai jlantah. Zaman dulu makan seperti itu hal biasa,” pungkasnya. (Sukron)

Baca Juga:  Empat Syarat Budidaya Itik Petelur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *