Pentingnya Wujudkan Konservasi Lingkungan dan Pengendalian Iklim yang Lebih Inklusif

Ilustrasi: Istimewa

JAKARTA – Perubahan iklim berdampak ke semua lapisan masyarakat. Sebagaimana yang dituturkan Yulia Sugandi pada diskusi “Gender, Konservasi Lingkungan, dan Perubahan Iklim” yang digelar secara virtual oleh Pojok Iklim pada Rabu, 7 April 2021.

Menurutnya, bencana alam yang disebabkan krisis iklim akibat ulah manusia memiliki dampak yang berbeda-beda pada tiap kelompok masyarakat. “Kerentanan yang berbeda-beda bagi setiap kelompok. Dan kelompok rentan itu sendiri memiliki kerentanan yang berbeda-beda. Ironisnya, kelompok rentan ini bukan berarti lemah, tapi juga garda depan dalam menangani krisis ekologi seperti iklim,” jelasnya saat memoderatori acara.

Dalam sambutannya, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanti mengiyakan pernyataan Yulia. Bahwa dampak itu sangat spesifik, isu kerentanan, kemiskinan, atau kurangnya akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Kemudian bagaimana memanfaatkan secara berkelanjutan kekayaan SDA dan keanekaragaman hayati dengan menggunakan pendekatan multidisiplin yang bersifat integratif dan holistik.

Upaya tersebut, kata Laksmi, bisa membawa semua pihak untuk mewujudkan konservasi lingkungan dan pengendalian iklim yang lebih inklusif. Tentu, dengan melibatkan semua pihak, terutama para pemangku kebijakan sesuai dengan peran yang dimiliki.

“Kita sekarang sudah berada di 30-40 tahun ke depan dari masa lalu. Sekarang, bisa disebut sedang panen dampak lingkungan. Kita perlu menjadi bagian dari solusi dengan berupaya mencari jawaban atas semua tantangan yang ada. Tentu, jawaban tidak bisa instan. Harus melibatkan semua pihak,” tuturnya.

Dosen, peneliti, dan pelukis, Dewi Candraningrum, menerangkan, pandemi Covid-19 dikibatkan karena krisis iklim yang membuat keberadaan zoonosis terlalu dekat dengan alam. Kedekatan itu disebabkan banyak hal. Di antaranya karena berkurangnya hutan dan konsumsi satwa liar.

Baca Juga:  Jazz Kotabaru, Festival Mengusung Semangat Kebersamaan dan Kerukunan

Ke depan, kemungkinan tidak hanya Covid-19, tapi juga hal lainnya. Adanya krisis iklim tidak hanya melahirkan satu bencana tapi juga bencana alam lain. Padahal seharusnya, ucap Dewi, sebutan yang tepat adalah bencana alam yang disebabkan oleh manusia. Selain itu, krisis iklim merupakan persoalan yang belum terpecahkan dari abad pencerahan.

Selanjutnya, krisis yang melahirkan pendemi Covid-19, tidak hanya bisa disebut sebagai bencana kesehatan, tapi juga melahirkan banyak krisis. Salah satunya, krisis keadilan relasi gender. Banyak riset yang mengatakan, pandemi yang mengharuskan untuk tetap di rumah, justru meningkatkan kekerasan domestik, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual pada perempuan.

Lain sisi, banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan. Selain itu, juga banyak kelahiran yang tidak diinginkan karena perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Semua individu, jelas Dewi, mendapat dampak yang cukup berat dari pandemi yang disebabkan krisis iklim, tapi perempuan lebih rentan. Kerentanan dalam sektor ekonomi, sebab 75% perempuan bekerja di sektor informal yang tergantung dengan perjumpaan fisik atau interksi sosial.

Di sektor kesehatan juga lebih tinggi. Karena secara global, 75% perawat atau pekerja medis adalah perempuan. Menurut Dewi, pekerjaan lingkungan dan perawatan, seharusya menjadi bagian dari ekonomi yang strategis.

Realitas para ibu Kendeng yang mengirimkan beberapa ton beras ke kelompok miskin kota selama pandemi, menunjukkan bentuk perlawanan terhadap pengabaian lingkungan. Pesan yang tersampaikan, tidak semua manusia yang makan dan minum turut menanam. Sementara, mereka semua (para ibu Kendang) perempuan, dan menanam.

Baca Juga:  Wiradesa.co Masuk 10 Portal Berita Terpilih untuk Mengikuti Program GNI Startups Lab Indonesia

Pandemi ini menunjukkan, tutur Dewi, pengetahuan perempuan yang ada di rumah, dalam hal merawat alam dan memberi makan pada pihak yang tidak pernah menanam, merupakan bagian sangat strategis dalam sistem perekonomian negara. Namun, banyak yang mengabaikannya.

Selain itu, krisis iklim menunjukkan bahwa sistem reproduksi sosial dan regenerasi kehidupan kapitalisme perlu diubah. Karena dampak krisis ekonomi sangat buruk. Dewi menuturkan, sistem kapitalisme seharusnya mampu menyadarkan bahwa mereka tidak berhak serta-merta mengeksploitasi lingkungan seperti cara sebelumnya, yang tidak memperhatikan keberlanjutan alam. Semua pihak perlu menggunakan cara yang lebih baik dalam menjalankan ekonomi dunia.

“Saya sangat pesimis dengan persoalan lingkungan yang solusinya tidak komprehensif. Kalau pun bisa diubah, apakah bumi masih bisa diselamatan?,” selorohnya.

Monica Tanuhandanu, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari, mengimbuhkan, beberapa waktu lalu, bencana alam terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurutnya, daerah yang hutannya gundul dan lahannya kering, rentan mengalami banjir bandang. Sedangkan, wilayah yang memiliki tutupan lahan/hutan, meskipun mengalami bencana, tapi lebih aman dari banjir bandang.

Bicara perempuan dalam lingkungan hidup dan kehutanan, terang Ayu Dewi Utari, Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dan pertanian. Terangnya, ada suatu ketidakadilan yang dialami para perempuan yang bekerja. Terutama di level informal.

Baca Juga:  Delapan Kecamatan di Pasuruan Penghasil Buah Durian Kualitas Unggul

Benar, kata Ayu, masih adanya ketidaksetaraan dalam hal pengakuan peran perempuan di dunia. Terkait budaya, di negara timur, mayoritas pekerjaan domestik dikerjakan oleh perempuan. Ucapnya, ketika terjadi banjir atau kerusakan alam, perempuan menjadi pihak yang harus paling berkorban.

Tempat penampungan kerap mengalami keterbatasan air. Padahal, air adalah kebutuhan pokok perempuan, sebab urusan reproduksi perempuan lebih panjang dan rumit dari laki-laki. Kemudian, ketika ada donasi, kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut sering terlupakan.

Peran perempuan adat, imbuh Ayu, salah satunya mengaktifkan keberadaan hutan untuk menciptakan energi hutan terbarukan. Yaitu dengan pemanfaatan air sebagai tenaga listrik di kawasan konservasi, mampu dikelola dengan baik sehingga menjadi kawasan wisata.

“Bagian Indonesia Timur, tradisi adat, mama-mama ini mempunyai area hutan khusus, dan hanya mereka yang mengelola. Mulai mengambil, membuka, kemudian ketika saatnya tidak boleh diambil, terus ditutup. Ini cara mereka untuk melindungi hutan dari eksploitasi. Dan pengelolaannya benar-benar dari para mama di wilayah tersebut,” urai Ayu.

Hal ini membuktikan, keputusan-keputusan hebat juga berasal dari para perempuan. Isu pangan, munculnya beragam penyakit, berkurangnya air bersih, juga dipengaruhi oleh adanya krisis iklim.

Di dalam posisi perempuan sebagai aktor utama yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, tentu dalam urusan air, perempuan merupakan pihak yang paling terdampak. “Setiap dari kita bisa melakukan aksi, meskipun setiap apa yang kita lakukan pasti menemui beragam tantangan dan hambatan. Maka, solusi yang lebih kontekstual dan inklusif itu sangat penting,” pungkasnya. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *