MADIUN – Petani di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Madiun bingung menghadapi berbagai persoalan yang menyerang tanaman padi. Persoalan itu mulai dari serangan hama wereng, tikus, kondisi cuaca, sampai minimnya pupuk bersubsidi. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, produksi padinya menurun sampai lebih dari 50 persen.
Nasib petani padi di Kabupaten Madiun semakin merana. Selain kesulitan pupuk subsidi, mereka juga bingung menghadapi serangan hama wereng dan tikus. Kondisi semakin parah, karena aspirasi petani belum ada respon dari Dinas Pertanian Kabupaten Madiun. Akibatnya, produksi padi musim panen kali ini turun drastis.
Atmadi, salah satu petani padi Desa Banjarsari, Kecamatan/Kabupaten Madiun mengeluhkan hasil panen yang mengalami penurunan drastis karena berbagai hal. Di antaranya kurangnya asupan gizi tanaman lantaran minimnya pupuk, serangan hama tikus, wereng coklat hingga dampak cuaca banyak tanaman yang telah berbuah tergenang air banjir.
“Hasil panen jatuh, karena pupuk jelas kurang, hama tikus ditambah dengan wereng. Hasil produksi merosot tajam ini,” ungkap Atmadi kepada wartawan Koran Memo, Minggu 20 Maret 2022.
Petani lain, Giyem mengungkapkan hal yang sama. Gabah hasil panen kali ini sangat jauh jika dibandingkan panen sebelumnya. Dalam satu kotak lahan atau seluas 1.400 meter persegi biasanya dapat menghasilkan sembilan sampai sepuluh kuintal gabah kering panen, kali ini hanya sekitar empat kuintal saja. Jadi turunnya lebih dari 50 persen. “Hasilnya sekarang empat kuintal, menurun, karena tikus, wereng yang nyerang bagian leher apalagi sekarang musim hujan,” ujarnya.
Meskipun harga jual gabah kering panen saat ini masih dalam kondisi normal, petani tetap saja merugi. Lantaran hasil panen merosot tajam, sedangkan biaya operasional selama masa tanam tetap tinggi seperti biasanya.
Kendalanya wereng, dan warna berubah coklat karena kebanjiran. Oleh karena petani memilih menjual gabah kering jemur, atau bahkan dalam bentuk beras. Seperti yang dilakukan Yayuk, hasil panen dari sawahnya tidak langsung dijual begitu saja. Ia lebih memilih membawa pulang gabah dan menjemurnya untuk meningkatkan harga jual agar kerugian yang dialami tidak terlalu besar. Apalagi bulir gabahnya nampak berwarna coklat karena sempat tergenang air banjir di saat hujan deras turun.
“Dijemur biar kering, kalau harga basah Rp 440 ribu kalau bagus Rp 450 ribu per kuintal tergantung padinya. Sementara kendalanya wereng, dan warna berubah coklat karena kebanjiran,” bebernya.
Sudah seharusnya aparat pemerintah, khususnya di Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan harus turun langsung ke lapangan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi para petani. Jika perlu dana, maka anggarkanlah agar petani juga merasakan sejahtera dan hidupnya makmur. (*)