Memanfaatkan liburan sekolah, sejumlah anak-anak dan orangtuanya, berpetualang bersama di Kotagede yang dulu menjadi Ibu Kota Kerajaan Mataram. Petualangannya tidak hanya mengenal jejak sejarah dari fisiknya saja, tetapi juga mengenal dan merasakan makanan lokal yang sejak dulu ada dan kini masih diperjual belikan.
Sebelum petualangannya pada Sabtu 28 Juni 2025 dimulai, puluhan anak-anak dan orangtuanya dari berbagai daerah berkumpul di Halaman Masjid Gedhe Mataram. Mereka mendapat penjelasan dari pengelola Djedjak Rasa tentang keberadaan empat bangunan utama sebuah Kerajaan Mataram di Kotagede.
Empat bangunan utama dalam suatu kerajaan itu dikenal dengan istilah Catur Gatra, meliputi bangunan Keraton, Alun-alun, Masjid, dan Pasar. Artefak empat bangunan itu di Kotagede masih ada. Namun yang masih dipakai atau termanfaatkan sampai sekarang, yakni Masjid Gedhe Mataram dan Pasar Legi Kotagede. Untuk alun-alunnya sekarang sudah menjadi permukiman penduduk dan keratonnya tinggal pondasi dan tembok-temboknya saja.
Setelah mendapat pembekalan, anak-anak dan orangtuanya diberi secarik kertas yang bergambar peta dan misi petualangan. Kemudian anak-anak diberi uang Rp 10 ribu untuk menyelesaikan misi petualangannya. Ada tiga misi yang dijalankan, yakni mencari jajanan pasar tradisonal, mengenal bahan jamu dan merasakannya, mencari tahu makanan yang disukai Raja Mataram dan para abdinya.
Petualangan rasa bersama keluarga bertajuk Family Gastroventure. Kegiatan yang diinisiasi Djedjak Rasa dan didukung Rumah Dongeng Mentari, Guru Bumi, dan Loka Nusa menekankan pada pangan lokal. Kotagede dipilih menjadi lokasi petualangan, karena terdapat makanan lokal yang sejak Kerajaan Mataram sampai sekarang masih ada.
Misalnya makanan Kipo yang dulu membuat Raja Mataram penasaran, sampai sekarang masih diproduksi dan dijual di Pasar Legi Kotagede. Kemudian makanan Legomoro yang biasa dibawa temanten pria untuk oleh-oleh saat seserahan, kini juga masih dijual di kios-kios pasar. Juga ada makanan Kembangwaru yang sampai sekarang masih diperjual-belikan.
Untuk mengenal dan merasakan makanan tradisional, anak-anak dan orangtuanya berpetualang di Pasar Legi Kotagede. Di pasar tradisional ini anak-anak mencari makanan Kipo, Legomoro, dan Kembangwaru. Selain itu juga mencari tahu jenis rempah apa saja yang menjadi bahan baku jamu.
Proses bertemu pedagang, bertanya, dan menawar harga merupakan pengalaman yang berharga dan mengesankan bagi anak-anak. Apalagi jenis makanan tradisional dan rempah bahan jamu yang dijual para pedagang itu tidak pernah dijumpainya di kota tempat tinggalnya.
Petualangan rasa dilanjut ke rumah pengolahan cokelat Monggo. Anak-anak beserta orangtuanya dijelaskan tentang pembuatan cokelat. Kemudian diminta mencoba rasa cokelat dengan berbagai varian rasa. Selain itu juga diperlihatkan Pohon Cokelat.

Kemudian ke Between to Gate, Alun-alun, yang sekarang sudah penuh dengan rumah-rumah penduduk. Kawasan ini banyak bangunan tradisional. Perjalanan dilanjutkan ke Benteng Cepuri, Watu Centeng, ke arah selatan dan terakhir di Loka Nusa. Peserta petualangan rasa istirahat dan sebagian bercerita pengalamannya saat mengikuti petualangan rasa bersama keluarga di Kotagede.
Semua peserta petualangan rasa mendapatkan local drink, beras kencur dan disajikan pembacaan buku, tentang “Bumi Nusantara di Piring Kita” oleh Kak Wina dari Guru Bumi. Buku itu berisi seputar jajanan lokal dan rempah-rempah. Selain itu juga ditampilkan dongeng soal rempah-rempah oleh Kak Mida dari Rumah Dongeng Mentari.
Anak-anak merasa senang. Mereka sebagian besar belum pernah ke Kotagede. Salah satu orangtua yang mendampingi anaknya, dari Jakarta, menyatakan sangat mengesankan ikut petualangan rasa di Kotagede. “Jadi pengalaman baru bagi anak-anak. Mereka tak hanya mendengar dan melihat saja, tetapi juga berinteraksi langsung dengan pedagang serta menelusuri tempat-tempat bersejarah,” ujar Budi Hermanto, dari Jakarta.
Pengelola Rumah Dongeng Mentari, Ayu Purbasari, mengapresiasi Djedjak Rasa untuk menginisiasi pelaksanaan program Family Gastroventura. Nusantara kaya dengan berbagai jenis makanan. Sayang jika makanan lokal itu tidak diketahui dan ditinggalkan oleh anak-anak, generasi pemimpin bangsa dan negara di masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ono)








