KULONPROGO – Lakon Ampak-ampak Sumur Gede dibawakan Grup Seni Drama Kethoprak Risti Budoyo, Padukuhan Gembongan, Sukoreno, Sentolo pada Pentas Fasilitasi Kelompok Seni Budaya di Taman Budaya Kulonprogo (TBK), Rabu 22 September 2021.
Lakon Ampak-ampak Sumur Gede yang ditulis Kawit Joyo Sumarto mengisahkan konflik yang dipicu oleh Demang Wongsogedek dari Kalurahan Sumengkar yang khawatir warga desanya akan kekurangan air apabila tuk (mata air) Sumur Gede di wilayahnya diambil juga oleh warga dari perkampungan sekitar. Demang yang punya watak nggeleleng, suka mengadu, dan menangnya sendiri kemudian berupaya melarang warga dari luar Sumengkar yang hendak mengambil air di Sumur Gede.
Demang Wongsogedek mengambil langkah ekstrem dengan menyuruh anak buah bayaran untuk melakukan pelarangan bagi warga kampung tetangga Sumilir dan Kepelrejo yang datang mau mengambil air. “Biar lebih mantap Demang Wongsogedek kasih uang buat anak buahnya. Ia minta anak buahnya untuk mengintai siapa saja dari kampung lain yang berani datang mengambil air untuk kemudian ditangkap dan dianiaya. Menurutnya yang boleh mengambil air hanya warga Sumengkar,” ujar Sarwidi, anggota Paguyuban Kesenian Risti Budoyo yang berperan sebagai Demang Wongsogedek.
Ditemui di rumahnya Kamis 23 September 2021, Sarwidi melanjutkan kisah lakon Ampak-ampak Sumur Gede yang akhirnya berujung konflik perkelahian ketika anak buah Demang Wongsogedek menjalankan instruksi. Adalah Ki Lurah Parjo (diperankan Sumarlan) Lurah Sumilir yang melerai perkelahian berlatar persoalan sepele; rebutan air tuk Sumur Gede. Ki Lurah Parjo memberi wejangan bahwa air boleh dimanfaatkan siapa saja. Dialog mengalir hingga terkuaklah siapa dalang di balik pelarangan pengambilan air Sumur Gede.
Demang Wongsogedek akhirnya dibawa ke kalurahan dihadapkan pada atasannya Ki Lurah Citro Woro, Lurah Sumengkar. Di persidangan yang seru di balai kalurahan, Demang Wongsogedek berkelit berusaha mengelak sampai akhirnya mengakui setelah barang bukti uang upah bagi anak buahnya ditunjukkan di hadapan seluruh yang hadir.
Bumbu humor terselip pada pementasan yang berdurasi sekitar satu jam dan berlangsung tanpa penonton itu. Ketika sudah terpepet dan mengakui perbuatan, Demang Wongsogedek berjanji tak akan mengulangi perbuatan yang jelek bahkan untuk mengukuhkan pertobatannya ia menyampaikan hendak menunaikan ibadah umroh sehingga hal itu memantik tawa.
Ketua Paguyuban Seni Drama Risti Budoyo Sumarlan menuturkan, pada pementasan siang itu, persiapan latihan hanya beberapa kali di Balai Kalurahan Sukoreno. Para pemain yang berjumlah 12 orang ditambah dengan wiyogo total jadi 25 orang sudah terbiasa manggung kethoprak tiap tahun sebelum ada pandemi.
“Tiap tahun tiap momen Peringatan Hari Kemerdekaan RI, di Padukuhan Gembongan selalu dipentaskan seni kethoprak. Para pemain tergabung di Risti Budoyo, mayoritas warga Gembongan,” ujar Sumarlan. Menurut Sumarlan, pihaknya didukung masyarakat dalam upaya melestarikan seni budaya tradisional. Selain kethoprak, seni karawitan juga hidup di Gembongan. Latihan karawitan digelar rutin seminggu sekali.
Sarwidi menambahkan, Risti Budoyo pernah memainkan lakon lain di antaranya Roro Mendut Prono Citro, Kamandoko Adu Jago, dan Ande-ande Lumut. “Risti Budoyo itu ada kepanjangannya yaitu rumaketing sedyo tumemen ing karyo atau bersatu dalam kemauan dan sungguh-sungguh dalam berkarya. Risti juga jadi nama karangtaruna,” tambah Sarwidi. (Sukron)