Sanggar Anak Alam Membangun Ekosistem Belajar

Sanggar Anak Alam (SALAM) berada di tengah persawahan Kampung Nitiprayan (Foto: Wiradesa)

BANTUL– Sanggar Anak Alam (SALAM) berada di tengah persawahan Kampung Nitiprayan, Kelurahan Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Tersaji hamparan padi di sepanjang kanan dan kiri selokan air yang menyisakan jalan kecil untuk dilewati.

Saat itu, Rabu, 7 April 2021, anak-anak masih terlihat melakukan kegiatan belajar dengan ditemani para fasilitator. Bertemu dan bersapa dengan para peserta didik dan fasilitator, mereka turut membantu memanggilkan Yudhistira Aridayan, ketua di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) SALAM.

Latar Belakang Gagasan SALAM

Menurut keterangan pria yang akrab dipanggil Yudhis, proses untuk bisa menjadi lembaga pendidikan seperti saat ini, tentu panjang. Lahirnya SALAM tak bisa lepas dari peran Sri Wahyaningsih.

Perempuan yang terbiasa disapa Wahya, merupakan penggagas SALAM. Mulanya, SALAM ini berfokus di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara, yang berdiri pada 1988. Lalu, SALAM yang ada di Banjarnegara bertransformasi menjadi komunitas pemuda “ANANE29” hingga saat ini.

Pada 1996, Wahya pindah ke Yogyakarta. Kata Yudhis, pada saat Wahya diminta untuk terlibat di pengurusan RT, muncullah ide membuat gerakan yang dekat dengan kebutuhan hidup masyarakat, yaitu SALAM.

Keresahan-keresahan mulai muncul. Terutama persoalan di bidang ekonomi dan pendidikan. Di bidang ekonomi, terjawab dengan  terbentuknya koperasi. Sedangkan untuk pendidikan, gagasan SALAM mulai dihidupkan kembali oleh Sri Wahyaningsih dan suaminya, Toto Rahardjo.

Mulanya, pada 2000, berfokus pada pendampingan kelompok remaja dengan kegiatan kejurnalistikan. Usai melalui beberapa kali evaluasi program, ternyata, dengan adanya kegiatan tersebut, permasalahan dalam pendidikan mulai terpetakan.

Di dalam pelaksanaan kegiatan, para anak remaja yang tergabung kerap mengeluhkan beban yang didapat dari sekolah, cukup berat. Selain itu, tidak kontekstual dengan kebutuhan anak. Akhirnya, SALAM tergerak untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri.

Baca Juga:  Kakao: Nafas Ekonomi dan Pendidikan Masyarakat Lembah Grime Jayapura

Pada 2004, SALAM mulai menyasar anak-anak usia dini. Mereka juga mulai membuat kurikulum sendiri. Kemudian, organisasi mengalami perkembangan. “Dari yang dulu sedikit orang, masih sangat cair. Lama-kelamaan baru ada koordinator, kemudian mulai menjadi lembaga pendidikan dari anak-anak usia 2-4 tahun, hingga tingkatan  Sekolah Menengah Atas,” ujar Yudhis.

Upaya SALAM dalam Bidang Pendidikan

Prinsip SALAM ialah, belajar bisa dimulai dari pengalaman dan fenomena alam. Saat masih di Banjarnegara, warga diajak terlibat  melakukan riset fenomena-fenomena yang terjadi di daerah tempat tinggal mereka. Ketika persoalan sudah terpetakan, hal-hal yang akan dilakukan mulai tersusun.

Saat pindah di Yogyakarta, menurut Wahya, sebagaimana yang dituturkan Yudhis, polanya hampir sama. Yaitu melibatkan warga setempat untuk bersama-sama melakukan riset. Dalam hal ini, SALAM termasuk forum belajar masyarakat yang ada di dalamnya. Termasuk Wahya sendiri.

Terkait kurikulum yang digagas SALAM, tentu berbeda dengan sekolah pada umumnya. Kaitannya dengan keyakinan, Yudhis mengatakan, mereka meyakini anak itu bisa belajar sendiri. Maka, tugas orang dewasa sebatas memfasilitasi, bukan memberikan materi dengan menyosialisasikannya.

Ukuran keberhasilan peserta didik tidak dinilai berdasarkan dari hasil ujian, tetapi lebih pada proses menciptakan iklim/ekosistem belajar. Tentu, fokusnya tidak pada anak saja. Sebab bagi SALAM, dalam proses belajar, si anak bukan objek dari sistem pendidikan. Semua pihak terlibat dan sama-sama belajar. Baik dari pihak fasilitator, orang tua, serta si anak.

Baca Juga:  Kembangkan Pesawat Tanpa Awak, Prof Gesang Nugroho Raih Guru Besar

Maka, ketika akan menentukan apa yang akan dipelajari, si anak, orang tua dan fasilitator diharuskan berdiskusi untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan.

Pendidikan Versi SALAM

Bagi SALAM, terang Yudhis, mereka tidak memakai istilah sekolah formal, non-fornal, maupun alternatif. “Itu kan rumusan yang dibuat oleh pemerintah. Kalau kami, ngomongin pendidikan, ya pendidikan saja,” urainya. Intinya, kata Yudhis, pendidikan ialah upaya sadar yang terencana, guna mewujudkan terjadinya pembelajaran.

Anak-anak belajar banyak yang berkaitan dengan alam (Foto: Wiradesa)Berdirinya SALAM, salah satunya sebagai bentuk mengkritisi sistem pendidikan yang ada. Walaupun begitu, SALAM telah terdaftar di Kemendikbud sebagai yayasan non-formal atau PKBM. Hal itu karena munculnya kebutuhan sebagian orang tua untuk bisa mengakses ijazah. “Yang utama tetap,  bagaimana caranya membangun ekosistem belajar. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan ijazah,” ucap Yudhis kemudian.

Isu dan Proses Belajar

Isu yang diangkat, hal-hal yang dekat dengan manusia. Yaitu pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial budaya. Hal mendasar itulah yang selalu digali dan diupayakan dalam ekosistem belajar SALAM.

Termasuk untuk membangun kesadaran mencintai produk lokal, serta memanfatkan segala hal yang dihasilkan alam. Melalui pendidikan, SALAM berupaya membangun kesadaran  kritis dalam menyikapi fenomena kehidupan. “Ngomongin belajar itu ya terkait dengan kehidupan,” urai Yudhis.

Sebagai upaya membangun ekosistem belajar, Yudis menjelaskan, ada proses musyawarah antara fasilitator, orang tua, dan si anak. Dalam hal ini, semua pihak yang terlibat  dibiasakan musyawarah untuk mencapai mufakat. “Jadi, apa yang dilakukan tidak semata keinginan satu pihak saja, tapi juga melalui berbagai pertimbangan,” tambahnya.

Baca Juga:  Islamic Study Center Lintang Songo Padukan Sekolah, Ngaji, dan Keterampilan

Pilihan belajar si anak pun beragam. Ada yang lebih menyukai tanaman, binatang, kerajinan dari barang bekas, dan hal lain yang berkaitan dengan alam.

Mile, anak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) SALAM, senang dan nyaman dengan pola sistem yang terbentuk. “Senang. Di sini bisa belajar dan juga bermain,” ucapnya singkat.

Kegiatan Sebelum dan Selama Pandemi

Karena pandemi, mengharuskan proses belajar yang mulanya tatap muka lima hari dalam seminggu, menjadi berselang-seling. Adakalanya online, adakalAnya offline. Menurut Edwin, salah seorang fasilitator SALAM, tergantung kesepakatan antara fasilitator dengan si anak. Untuk kelas offline, dibuatkan kelompok kecil.

Secara keseluruhan, jumlah fasilitator SALAM berjumlah 40 orang. Dengan 3 fasilitator di setiap kelas yang berjumlah kurang lebih 15 peserta didik. Jenjang kelas meliputi Taman Anak, Taman Bermain, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas.

Terkait capaian, disesuaikan dengan riset si anak. “Riset tiap anak kan beda-beda. Hasilnya juga pasti beda. Sewaktu ujian, anak-anak itu bukan mengerjakan soal tetapi menganalisis soal Ujian Nasional (UN) itu sendiri,” paparnya kemudian.

Menurut Edwin, pria lulusan Universitas Negeri Yogyakarta yang menjadi fasilitator di SALAM sedari 2018, yang membedakan SALAM dengan sekolah pada umumnya ialah, ketika sekolah pada umumnya membicarakan input dan output mengarah ke lulusan. Sedangkan di SALAM, inputnya adalah fasilitator, orang tua, dan si anak. Outputnya ialah ekosistem belajar. “Jadi, tiga unsur itu saling berkesinambungan,” pungkasnya. (Septia Annur Rizkia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *