YOGYAKARTA – Ada pepatah mengatakan, keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Dari keluarga, anak-anak mulai mengenal kehidupan dunia. Dikatakan pula, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu pun, seperti apa anak-anak bertumbuh nantinya, mereka tak jauh dari pendidikan yang didapat dari keluarga.
Sama halnya Sri Wahyaningsih (60), perempuan kelahiran Klaten yang dibesarkan dari keluarga yang memiliki kesadaran tinggi terhadap literasi. Perempuan yang akrab disapa Wahya ini juga sedari belia sudah diajarkan untuk peduli dengan sesama dan kehidupan sekitar.
Dikenal sebagai sosok sederhana dan dermawan, perempuan yang merupakan penggagas Sanggar Anak Alam (SALAM), tak segan untuk membantu orang-orang di sekelilingnya yang membutuhkan.
Di samping itu, ibu dari tiga anak lulusan Sekolah Akademi Keuangan Perbankan ini memilih mendedikasikan hidupnya di bidang pendidikan. “Yang kami pegang bagaimana sekolah bisa memproduki pengetahuan dan bagaimana hidup ini bisa bermanfaat untuk orang lain,” tandas Wahya saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Latar Belakang Berdirinya SALAM
Diceritakan, istri dari Toto Rahardjo ini, dulunya, setiap akan berangkat sekolah, tepat di depan Rumah Sakit Bathesda Yogyakarta, ia kerap melihat para gelandangan yang mengais makanan dari sampah-sampah. Melihat fenomena yang tak pernah ditemui selama ia tinggal di desa kelahirannya, membuat hati Wahya sakit dan menjerit.
Saat pulang ke kampung halaman, Wahya bercerita ke bapaknya tentang kejadian yang selalu ia temui itu. Keresahan mereka sama. Yaitu, mempertanyakan peran negara di tengah tingginya angka ketimpangan dan kemiskinan.
Pesan bapak Wahya saat itu, sebagai sesama manusia, cukup dengan melakukan apa yang bisa dilakukan. Mendengar itu, Wahya segera berdiskusi dengan teman muda lainnya. Wahya dan teman-temannya pun memilih mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual, lalu digunakan membeli nasi bungkus untuk dibagikan ke mereka.
Setelah ditelusuri, kebanyakan dari mereka ialah orang desa yang bermigrasi ke kota untuk mengadu nasib. Akan tetapi, yang terjadi tak sesuai harapan mereka. Bukannya mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinaan struktural, nasib mereka malah terkatung-katung di tanah perantauan/kota. Tentu, mereka tak punya banyak pilihan, sebab kalau pulang ke desa, aset mereka banyak yang sudah terjual dan tak sedikit yang sudah tak memiliki sanak saudara.
“Padahal kan di desa itu sebenarnya potensial. Orang-orang kalau sekolah, malah jadi meninggalkan desanya. Saya pun merasa, sekolah kok jadi menjauhkan mereka dari kehidupan yang nyata,” terang Wahya.
Realita yang sering terjadi, lanjut Wahya, orang-orang yang bersekolah ke kota, ketika kembali ke desa, banyak yang tidak tahu apa yang akan diperbuat. Kemudian, memilih mencari pekerjaaan daripada harus membuat pekerjaan.
Tak dinyana, di suatu kesempatan, Wahya dipertemukan dengan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seorang arsitek yang menginisiasi penataan pemukiman penduduk Bantaran Kali Code.
Usai dipetemukan, mereka berdiskusi bersama. Bagi Romo, ada 2 tipe dalam pendidikan. Pertama bersifat birokratis, sedangkan kedua sesuai dengan realita yang ada.
“Itulah yang menuntun kami mendirikan SALAM. Ya, karena kami melihat ada kemacetan di dalam pendidikan yang dilembagakan itu,” tukas Wahya.
Kisah Berdirinya SALAM di Banjarnegara
Keinginan Wahya untuk bisa tinggal di desa terwujud. Usia menikah, bersama sang suami, Toto Rahardjo, mereka memutuskan tinggal di Desa Lawen, Pandanarum, Banjarnegara (desa asal suami) pada 1988.
Mulai akrab dengan lingkungan barunya di Lawen, Wahya merasa ada banyak kejanggalan. Yakni masih tingginya angka anak putus sekolah dan juga perkawinan anak. Ditambah, banyaknya anak muda yang merantau meninggalkan desa. Padahal, dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, menurut Wahya, Desa Lawen yang berada di perbukitan tersebut sangat berpotensi jika dikelola dengan baik.
Melihat fenomena masih minimnya kesadaran masyarakat sekitar terhadap alam yang dipunya, Wahya tergerak melakukan observasi dari desa ke desa, sekolah, lalu bertemu dengan anak-anak. Pertemuannya dengan anak-anak membawa mereka ke obrolan mendalam. Ditambah, antusias belajar anak-anak tersebut juga tinggi. Wahya menjadi semakin yakin, yang dibutuhkan mereka ialah sekolah. Tempat belajar yang mendekatkan mereka pada realita kehidupan.
Tentu, mendesain sekolah yang berbeda pada umumnya membutuhkan curahan waktu juga tenaga. Berbekal ketulusan dan tekad, lahirlah Sanggar Anak Alam (SALAM) yang perhatian utamanya dititikberatkan pada kebutuhan dasar manusia. Yakni pangan, kesehatan, lingkungan dan sosial budaya
Pertama kali dibuka, ada sekitar 200 anak yang tertarik bergabung dan belajar bersama di SALAM. Agar tak kewalahan, Wahya membagi menjadi beberapa kelompok kecil. Kemudian, masing-masing kelompok diberi tugas mengamati kondisi sosial, baik di kampung, pasar, maupun ladang.
Setelah dirasa selesai, mereka kembali berkumpul dan berdiskusi. Dalam dinamika diskusi, mereka menyadari kalau sesungguhnya desa mereka meiliki banyak aset, mulai dari ladang, hingga pasar.
Singkat cerita, Wahya merasa, ketika anak diberi kesempatan untuk berpikir, diajak untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, daya kritis mereka akan terasah. Melalui cara yang tepat, Wahya mulai memotivasi mereka agar terbangun dan tergerak untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Pada perkembangannya, SALAM yang berada di Lawen bermetamorfosa menjadi komunitas pemuda ANANE29, yang masih berjalan hingga saat ini.
Setelah SALAM Berpindah ke Yogyakarta
Tepat pada 1996, Wahya beserta sang suami memutuskan pindah ke Yogyakarta. Selain karena akses informasi dan teknologi di Ngawen susah, sehingga menghambat urusan pekerjaan sang suami yang mengharuskan berpindah-pindah tempat. Juga, Wahya merasa sekolah tersebut sudah berjalan dan mandiri.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan Wahya dengan warga di tempat tinggal barunya, RT 004, Kampung Nitiprayan, Ngestiharjo, Bantul, mulai terjalin dengan baik. Suatu hari, Wahya dipilih warga untuk menjadi ketua RT. Sempat bimbang, pada akhirnya, amanah mulia itu pun diterima dengan senang hati.
Kesempatan dan kepercayaan dari warga digunakan sebaik mungkin. Banyak hal yang mulai terpikirkan Wahya. Termasuk mengadakan kegiatan jangka panjang yang bermanfaat untuk warga setempat.
Wahya juga mengajak para warga untuk melakukan riset, kemudian memetakan masalah untuk mengetahui kebutuhan mereka. Usut punya usut, angka anak putus sekolah juga terbilang tinggi. Selain karena masalah ekonomi, tak jarang dari mereka yang merasa kalau sekolah tak bisa memberi apa yang mereka butuhkan.
Sebagai Ketua RT, respons Wahya ialah membuat program pendampingan remaja yang melibatkan para warga. Kegiatan tersebut diikuti para remaja, baik yang bersekolah di sekolah pada umumnya, maupun yang tidak bersekolah atau putus sekolah.
Saat itu, kata Wahya, belum ada home schooling. Wahya pun mulai menawarkan gagasan sekolah sebagaimana yang pernah ia dirikan di Ngawen, Banjarnegara. Wahya juga mendiskusikan persoalan pendidikan dengan para warga. Pelan-pelan, para warga mengerti dan menerima ide dari Wahya. Kemudian, terbentuklah kelompok belajar yang dibuat semacam taman bermain untuk anak-anak usia PAUD maupun TK.
Disusul dengan program pendidikan adil gender berbasis keluarga yang bekerja sama dengan Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA). Berkat program tersebut, terselenggara sekolah pasangan suami istri yang berlangsung selama 4-5 hari, yang diikuti 100 Kartu Keluarga (KK) dan terbagi menjadi 4 kelompok.
Tak berhenti di situ, usai berlangsungnya kelas, dilakukan pembekalan dan mentoring. Berkat pola komunikasi yang tejalin bagus. Bersama-sama mereka bersepakat membentuk sekolah untuk anak-anak seusia SD. Tepat pada 2000, SALAM kembali dihidupkan di Yogyakarta.
Mulanya, proses pembelajaran berlangsung di ruang tamu rumah Wahya dan difasilitatori olehnya. Sistem pembelajaran juga bisa dilakukan di mana pun, termasuk di luar ruangan seperti persawahan.
Dinilai pola pembelajaran seperti itu menyenangkan, anak-anak menjadi lebih berani mengutarakan unek-unek atau pendapat. Sehingga, para orang tua turut termotivasi membawa anak-anaknya ke tempat Wahya.
Dalam perjalanannya, jumlah kelas kian bertambah hingga seusia SMA, pun sampai tingkat akademi. Wahya juga sempat berpikir mengurus perizinan dan mendaftarakan SALAM sebagai lembaga formal. Akan tetapi, banyak warga yang menolak dan menginginkan SALAM yang apa adanya.
Atas banyak pertimbangan, serta mengantisipasi jika ada anak yang membutuhkan ijazah untuk melanjutkan ke lembaga formal yang dikehendaki, di usia tiga tahun, SALAM mulai didaftarkan menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Disampaikan, pemerintah DIY juga pernah melakukan riset di SALAM karena tertarik dengan kurikulum yang diusungnya. “Saya juga sedang terlibat menyusun kurikulum nasional tentang bagaimana belajar melalui riset berdasarakan minat anak, bukan keterpaksaan dari guru,” tukas Wahya.
Berawal dari Pendidikan Keluarga
Dikisahkan, sejak kecil, Wahya sudah terbiasa membaca koran. Sebab setiap hari, sang Bapak selalu berlangganan koran dan majalah. Mereka juga terbiasa berdiskusi berdua.
“Bapak sering bilang, kita nggak bisa hidup seorang diri. Di dunia ini, kita semua saling membutuhkan. Maka, kepedulian, sikap saling menghargai, sangatlah penting. Dan, bermanfaat untuk sesama bisa dimulai dari hal-hal kecil,” kenang Wahya.
Tambahnya, dari kecil, Si Mbah (kakek dan nenek) Wahya juga mengajarkan banyak hal kepadanya. Mulai dari disiplin bangun pagi, lalu pergi ke pasar untuk berbelanja dengan bermodal uang dari Si Mbah. Kemudian hasil belanjaan Wahya dibeli Si Mbah dengan harga lebih tinggi. Dari proses ini, Wahya diajarkan untuk mulai hidup mandiri, agar tak selalu bergantung dengan orang lain.
“Menurut saya, pendidikan di rumah itu sangat penting. Sekitar 100 tahun lalu, Ki Hadjar juga sudah menetapkan, pendidikan di keluarga itu yang utama. Saya merasa, apa yang saya dapatkan itu tidak dari sekolah. Yang menuntun saya hingga saat ini, pendidikan dari keluarga. Pun sampai bisa mendirikan SALAM,” ungkap Wahya.
Si Mbah, lanjut Wahya, juga menanamkan keyakinan, jika manusia diberi kepercayaan/amanah berupa harta oleh Tuhan, itu semua tidak hanya untuk dirinya seorang, tetapi untuk disalurkan ke sesama.
Selama hidupnya, Si Mbah Wahya mempunyai 19 anak asuh yang sekolahnya dibiayai dari SD-SMA, dan juga diberi uang santunan.
“Mbah saya disiplin, dermawan, dan pekerja keras. Menjelang Magrib, semua aktivitas kerja harus dihentikan. Kadang, cucu-cucu diajak mendengarkan dongeng darinya. Terkadang jalan-jalan. Si Mbah juga mengajarkan agar kami bisa bertanggung jawab atas hidup kami dan sekitar,” tutur Wahya.
Jadi, selama ini, Wahya selalu melihat apa yang dilakukan orang tua dan Si Mbahnya. Karena didikan Si Mbah di masa kecilnya, Wahya menjadi terbiasa bekerja. Saat bersekolah, hingga kuliah, Wahya sudah bisa menghasilkan uang dan hidup mandiri. Juga, aktif berorganisasi maupun berkomunitas sedari di desa tempat tinggalnya, hingga saat ini.
Teguh dengan Prinsip
Konsintensi menjadi prinsip yang selalu dipegang Wahya. Selain itu, Wahya juga berusaha untuk tidak mudah tergoda dengan ragam tawaran. Pernah, beberapa kali ia mendapat tawaran posisi kerja di suatu lembaga besar, tapi tak diterima karena komitmennya pada SALAM.
Ditambahkan, Wahya merasa sudah bisa hidup dengan caranya. Wahya juga beberapa kali mendapat tawaran beasiswa kuliah di luar negeri. Karena ada alasan yang mendasarinya, Wahya memilih untuk melepas kesempatan itu.
Yang terpikirkan Wahya saat itu, di Indonesia sudah banyak orang pintar. Semisal ia menerima kesempatan pendidikan di luar negeri, Wahya merasa, apa yang didapatkan dari situ, ketika diterapkan di negara atau daerah sendiri, belum tentu sesuai dan tepat. Keinginan besar Wahya, bisa belajar dari masyarakat tempatnya berada.
“Menurut saya, di dunia yang cukup terbuka, pengetahuan bisa kita unduh dan dapatkan dari mana-mana. Tapi yang jelas, dasarnya mesti kuat dulu. Bagaimana seseorang ada keterkaitan dengan masyarakatnya. Terikat dengan bangsa sendiri, bagaimana memajukannya.
Sebab bagi Wahya, NKRI harga mati itu, bisa dimulai dari rasa cinta terhadap orang-orang yang hidup di sekitar, serta menjaga keberlangsungan alam.
Wahya menegaskan kembali, upayanya mendirikan SALAM ialah untuk mendekatkan anak-anak dengan alam dan masyarakat. Meski nantinya, mereka akan mengembangkan dirinya lagi di tempat yang berbeda.
SALAM juga memiliki Sedapur SALAM sebagai upaya kemandirian mereka secara ekonomi. Mereka menjual aneka olahan hasil produksi. Juga kopi, teh, dan beberapa produk yang diambil dari Lawen.
“Yang terpenting, bagaimana cara agar saya bisa bertahan hidup karena apa yang saya sampaikan ke orang-orang, tidak sebatas teori. Tapi saya juga menjalankan dan bisa. Saya juga memperhitungkan kecukupan. Karena saya nggak mau dikendalikan uang. Bagi saya, uang adalah sarana. Ketika kebutuhan sudah tercukupi, ya sudah,” imbuh Wahya yang sesekali tertawa lirih.
Sebelum menutup obrolan panjang, Wahya juga menyampaikan, isu yang diusung SALAM tak sebatas sebagai pengetahuan. Namun juga mereka terapkan secara langsung. (Septia Annur Rizkia)