YOGYAKARTA – Kendaraan beroda dua yang dikendarai Dodok berhenti tepat di seberang jalan warung angkringan milik salah seorang tetangganya. Setelah motornya terparkir, ia berjalan menemui wartawan Wiradesa.co. Usai duduk di kursi, ia pun segera menyapa Purwanti, pemilik angkringan yang terletak di Gg. Kartika, Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Sembari mengobrol, sesekali ia menghisap vape atau rokok elektrik yang ada di tangannya. Tercium pula aroma asap yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dodok Putra Bangsa, menceritakan awal mula terbentuknya Kebunku Jogja yang terletak di belakang Sekretariat Nasional Gusdurian Sorowajan, Banguntapan, Bantul.
Menurut keterangannya, Kebunku Jogja yang memiliki luas 300 meter tersebut merupakan inisiatifnya dengan dibantu teman-teman dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Gusdurian, dan Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), dalam merespons krisis pangan di tengah pandemi Covid-19.
Pria yang kerap disapa Dodok mengungkapkan, munculnya ide urban farming karena sudah menjadi kebutuhan. Dia mengaku, sebelumnya tidak bisa bertani. Konsep urban farming yang diterapkan di Kebunku Jogja tersebut, kata Dodok, sebelumnya belum tahu seperti apa bentuknya dan belum pernah mempelajarinya.
Berbekal keinginannya turut membantu kebutuhan pangan warga, terutama untuk kebutuhan dapur umum Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), warga Umbulharjo ini, dengan dibantu teman-teman komunitas lainnya segera mengeksekusi lahan yang semula kosong, menjadi kebun tanaman organik.
Menurutnya, di saat pandemi, yang paling tidak terganggu adalah petani. “Petani, dengan santainya, meskipun enggak punya duit tapi punya pangan. Temen-temen Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) yang nyaris tergusur saja turut bantu dapur umum SPJ. Bagiku itu sangat menarik,” tutur Dodok, Jumat, 19 Februari 2021.
Bagi pria yang berusia 43 tahun ini, menanam, terutama di tengah pandemi Covid-19 ialah tentang mengutamakan pangan dibandingkan lainnya, termasuk pembangunan. “Ya kebutuhan yang paling mendesak jelas pangan. Pendidikan masih bisa online. Kalau pangan udah enggak bisa ditawar lagi. Karena, seluruh dunia, belajar banyak tentang perang melawan pandemi ya baru-baru sekarang ini. Di era sekarang, ya baru ini,” tegasnya.
Belajar dari Covid-19, Dodok mengatakan, semisal masing-masing warga kota menerapkan urban farming, tentu saja menguntungkan untuk ketahanan pangan. “Sehat, jelas terjamin. Karena bisa makai pupuk organik,” tuturnya.
Konsep urban farming, menurut Dodok, bisa mengubah mindset bahwa menanam tidak membutuhkan lahan yang luas sebab bisa menggunakan polybag. Selain itu, bisa menggunakan metode tumpang sari atau bahkan hidroponik.
Inisiator Kebunku Jogja menuturkan, mengajak warga kota untuk sama-sama menanam bisa dengan regulasi dari birokrasi. Bisa dengan membuat aturan setiap warga diwajibkan menanam 5 tanaman pangan di rumahnya masing-masing. Jika ada yang melanggar, dikenakan sanksi, seperti halnya tilang kendaraan. Dengan begitu, kata Dodok, bisa membuat warga mandiri serta membentuk pola pikir bahwa menanam untuk ketahanan pangan.
Sesekali, Dodok menyeruput pesanan kopi yang sudah disuguhkan di depan tempat duduknya. “Tapi yang perlu digaris bawahi adalah, pertanian di lahan sempit tidak hanya jadi wacana,” ungkapnya. Bagi Dodok, ia lebih melihat pada rakyat bantu rakyat, yang kalau gerakannya masif, bisa membantu menjawab perang melawan pandemi.
Menurut keterangan Dodok, terbentuknya Kebunku Jogja yang pada mulanya untuk membantu menyuplai kebutuhan pangan dapur umum SPJ, ternyata hasilnya hanya cukup untuk 2-3 dapur dari 13 dapur SPJ. Maka, targetnya diubah. Yaitu 25% untuk menyuplai dapur umum, 75% untuk menginspirasi. “Banyak juga yang belajar dari situ,” jelasnya.
Dodok mengatakan, mereka juga membagi-bagikan bibit tanaman yang sudah dimasukkan ke dalam polybag dan sudah dipupuk. Kemudian, warga yang mendapatkannya tinggal merawat tanaman tersebut.
Untuk saat ini, Dodok mengungkapkan, Kebunku Jogja belum di-upgrade lagi sebab banyak yang masih sibuk di dapur umum. “Jadi agak nggak kerawat dan kegarap. Sejak ngurus itu. Ini kita nunggu Adi (Walhi) mau beresin ternaknya dulu. Soalnya ternak juga penting untuk ke depannya Kebunku Jogja,” pungkasnya.
Banyak yang Menyumbang
Untuk rincian akomodasi yang dikeluarkan selama pembentukan Kebunku Jogja, Dodok mengatakan tidak begitu tahu sebab banyak dibantu juga dari Walhi. Selain itu, ungkapnya, banyak pula pihak yang turut menyumbang. Seperti halnya pupuk dan media tanam, sumbangan dari warga Ledok Timoho (Sekolah Gajah Wong).
Berkaitan dengan rincian tanamannya, Dodok mengatakan menyesuaikan lahannya. Di saat sudah penuh, mereka menggunakan polybag. Tanaman yang mereka tanam ada terong, cabe, kangkung, tomat, sawi, dan bayam. Mereka juga menerapkan sistem tumpang sari sebagai upaya menghemat lahan yang ada. “Ada yang dari bibit, yang sudah jadi tanaman sekitar 10 cm, ada juga beberapa yang dari benih, seperti sawi, cabe, terong, dan tomat,” lanjutnya.
Dodok menerangkan, tanaman yang ada di Kebunku Jogja menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kotoran kambing. Secara pertumbuhannya, kata Dodok, tanaman organik lebih lama jika dibandingkan yang non-organik. Namun, ungkapnya, tanaman organik lebih menyehatkan, dan pohonnya bisa bertahan lebih lama.
Perawatan tanaman di Kebunku Jogja, Dodok menjelaskan, yaitu menyiram setiap hari, mencabuti tumbuhan parasit, dan memupuk setiap 10 hari sekali. Selain gulma, ada pula hama yang mengganggu tanaman. Dodok dan teman-teman yang tergabung di komunitas Kebunku Jogja juga menanam tanaman ilalang, seperti serai, bunga matahari, dan kenikir yang bisa mendatangkan tawon untuk mengusir hama.
“Baru tau sekarang, kalau cabe mahal di musim hujan karena sebelum mateng rontok. Semuanya ini kita masih sama-sama belajar. Lawong kita nggak ada ilmu pertanian sama sekali,” pungkasnya sebelum menutup obrolan. (Septia Annur Rizkia)