YOGYAKARTA – ASEAN Studies Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM berkolaborasi dengan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR) menyelenggarakan Focus Group Discussion bertajuk “The Role of ICT as a Tool in Mitigating Conflict and Fostering Peace”, Senin (25/1).
Sejumlah peneliti hingga influencer media sosial terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan secara luring dan daring. Salah satu topik diskusi adalah terkait peran key opinion leaders di media sosial, atau yang biasa dikenal dengan sebutan influencer, dalam upaya mitigasi konflik dan membangun perdamaian, serta bagaimana negara berelasi dengan mereka.
“Influencer tidak sekadar memberikan informasi, tapi seperti namanya, mereka juga memberikan klaim tentang kebenaran,” ucap Peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Joash Elisha Stephen Tapiheru MA.
Ia menyebut, influencer media sosial memainkan peranan yang penting dalam konflik dan upaya perdamaian di era digital. Kemunculan influencer dalam ranah sosial media sendiri, terang Joash, bersifat korelatif dengan audiensnya. Seseorang dapat menjadi influencer karena mereka memiliki audiens. Lebih lanjut ia menerangkan, dalam sepuluh tahun terakhir terjadi lompatan yang signifikan dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Lompatan ini tidak sekadar memfasilitasi perilaku manusia, namun juga mengubah cara manusia berkomunikasi dan mempersepsikan komunikasi, termasuk bagaimana mereka mencari alternatif kebenaran dan sumber kebenaran alternatif.
“Saat ini terdapat yang disebut kematian ideologi. Kita menghadapi situasi di mana kita memiliki sumber-sumber alternatif bagi kebenaran,” ucapnya.
Ernest Prakasa, sineas yang menjadi salah satu panelis diskusi, menambahkan, kolaborasi antara pemerintah dengan influencer media sosial yang salah satunya dilakukan dalam kampanye terkait vaksin Covid-19 adalah hal yang baik, karena masyarakat tidak lagi percaya dengan media-media konvensional. “Mereka lebih percaya dengan orang yang mereka ikuti di media sosial,” imbuhnya.
Meski demikian, menurutnya yang perlu dijadikan pertimbangan untuk memilih influencer yang dilibatkan dalam upaya komunikasi publik bukan sekadar jumlah pengikut, tetapi juga integritas, rekam jejak, nilai yang dianut, dan bagaimana mereka memperoleh pengaruh yang mereka miliki saat ini. “Pemerintah perlu secara serius mempelajari bagaimana memaksimalkan peran influencer dalam hal pemasaran,” jelasnya.
Topik diskusi lainnya adalah penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam menangani berita palsu dan disinformasi dalam konteks konflik domestik ataupun regional. Dr Darmp Sukontasap yang menjadi pemantik diskusi memaparkan, berita palsu dapat menyebar 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan berita yang benar. Di samping itu, terdapat kecenderungan yang tinggi di kalangan masyarakat untuk mempercayai berita-berita yang belum jelas kebenarannya.
Untuk mengatasi persoalan ini dan juga dampak negatif lain dari perkembangan teknologi seperti kejahatan siber, menurutnya diperlukan kombinasi antara regulasi yang baik serta edukasi bagi anak-anak.
“Tidak ada regulasi yang cukup cepat untuk mengikuti laju perkembangan teknologi informasi. Karena itu kita perlu memberi edukasi dan pemberdayaan bagi anak-anak, dan itu harus dimulai saat ini juga,” ungkapnya. (Sukron)