Hujan rintik semenjak sore hari tak mengendurkan langkah penggerak komunitas Gusdurian Klaten menggelar peringatan Haul Gus Dur ke-14, Minggu, 28 Januari 2024. Bertempat di kedai kopi Jogse, Kalikotes, Klaten. Menata ulang soundsystem, menggambar poster, dan mempersiapkan seluruh keperluan gelar forum demokrasi yang bertajuk “Demokrasi yang Mungkin Bagi Generasi”.
Pukul 19.30 hadirin sudah merapatkan diri di tempat. Sebagian besar merupakan penggerak yang berbasis komunitas atau organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada di Klaten. Di antaranya Pemuda Hindu, BEM-UKM seni Unwidha, Selasar Jagarumeksa, IPNU/IPPNU Klaten, Pemuda Gereja, dan lainnya. Sekitar 50-an pemuda ini berkumpul untuk merumuskan demokrasi yang “memungkinkan” bagi masa depan mereka.
Tajuk forum demokrasi ini dilandasi atas kegelisahan dalam momen pemilihan umum yang semakin jauh dari substansi demokrasi, figur berikut nilai yang diwariskan oleh Gus Dur diharapkan mampu diperkenalkan secara lebih luas dalam agenda ini. “Forum ini digelar dengan model talkshow sehingga mampu memberi banyak ruang kepada hadirin yang hadi turut merumuskan pikiran dan kegelisahannya,” papar Latifah selaku Host.
Lebih lanjut, Latifah juga memaparkan perlunya mengundang panelis dari beragam latar belakang. Forum ini menghadirkan Purnawan Kristanto selaku penggiat keberagaman, Supriyadi salah seorang seniman muda, Sabiq Muhammad merupakan seorang kades muda, dan Aulia Abdurrahman selaku perwakilan Sekretaris Nasional Gusdurian. Harapannya forum ini mampu memberi beragam perspektif untuk memperkaya wacana demokrasi pemuda hari ini.
Talkshow dilaksanakan dalam tiga sesi: sesi panelis, Q and A, dan tanggapan. Dan dalam jeda sesi turut menampilkan Indie Hiphop muda Klaten yang bering dipanggil dengan Shinlafaska (Sindu). Namun sebelum sesi pertama dimulai, panitia mengajak seluruh hadirin untuk turut memberi pendapat melalui Quizz yang realtime merekam pendapat individu.
Mufid selaku MC mengungkap perlunya mengajak hadirin untuk terlibat secara dua arah dalam forum ini sehingga dinamika dapat terbangun. “Kalau dalam istilah kawan-kawan Gusdurian biasa menyebutnya agar “hadir utuh, sadar penuh” dalam setiap agenda.
Demokrasi yang makin kesini makin kesana
Sesi Quizz sebagai pantikan awal telah menunjukkan bahwa demokrasi kurang berpihak kepada kepentingan-kebutuhan pemuda hari ini. Ketika ditanyakan mengenai kondisi demokrasi lingkup sekitar, mayoritas menjawab “Makin kesini makin kesana”. Sebuah ungkapan kiasan untuk kondisi yang kian tak ideal.
Purnawan Kristanto, sebagai permulaan sesi talkshow, merefleksikan demokrasi hari ini yang dipersempit hanya dalam momen pemilu lima tahunan saja. Padahal esensi demokrasi adalah keterlibatan seluruh lapisan masyarakat secara berkelanjutan untuk mengawal agenda dan aspirasinya. Ia juga menambahkan bahwa fenemona ini tidak datang begitu saja, salah satu faktornya adalah kegagalan dari partai politik yang belum mampu mereformasi diri paska peristiwa 98.
“Kader parpol itu kan hanya sibuk ketika pemilu sudah dekat, mereka jarang memiliki jaringan ataupun agenda yang terhubung kepada masyarakat secara luas dan langsung. Makanya, popularitas kerap digunakan oleh parpol demi mendongkrak suara,” ujarnya.
Sabiq Muhammad juga menawarkan agenda kritis yang mampu dilakukan oleh gelombang pemuda hari ini di tengah kegagalan beragam aktor yang seharusnya dapat menjamin substansi demokrasi. Menurut sabiq, demokrasi hari ini dipenuhi motif transaksional yang koto.
Sabiq menuturkan perlunya pemuda mengambil dua sikap: Golput atau memilih paslon yang dinilai dosanya paling kecil (Lesser Evil). Dalam sikap kedua ini mengharuskan setiap pemuda mempelajari rekam jejak masa lalu seorang kandidat secara obyektif alih-alih dengan sentimen identitas. “Artinya, pemuda hari ini perlu menguatkan kepekaannya dalam isu kebijakan publik,” ungkap Sabiq.
Aulia Abdurrahman, mengutip pendapat Gus Dur bahwa memang realitas demokrasi kita masih “Demokrasi seolah-olah”. Bentuknya secara formal memang demokrasi, namun fungsi kelembagaan dalam struktur pemerintah yang katanya demokratis justru lebih mengarah pada kepentingan segelintir orang bukan menuju kesejahteraan umum.
Aulia menambahkan, jangan heran ketika mempelajari data dari riset-riset terbaru, justru didapati apa yang dinyatakan oleh Gus Dur bahwa demokrasi kita masih “Seolah-olah demokrasi”. Kalau benar demokratis maka data tidak akan menunjukkan realita semacam ini. “Faktanya, memang demikian, kan,” tandasnya. Ia mengutip data menyoal ketimpangan kesejahteraan yang mana 10% lapisan terkaya di negara mampu menguasai 85% lebih aset kekayaan yang ada di negara.
Penjelasan dari Aulia kemudian dipertegas oleh Supriyadi. Ia berusaha membagikan kondisi desa di mana sebagian besar hadirin ini hidup. Fakta mengenai kontestasi pikades memang jauh dari kesan meritokrasi. Ini bisa dibuktikan dengan mayoritas pemenangnya berasal dari elit setempat yang bisa jadi kerabat lurah lama.
Di tengah jeda sesi panelis, Sindu turut mempersembahkan karyanya di hadapan hadirin. Ia seorang solo Hip Hop muda yang merasa forum ini sesuai dengan keresahannya. Ia membawakan lagunya yang berjudul “Crushed House”
//sesak bernafas, pohon besar terhempas yang ada hanya hutan beton
yang ku lihat hanya monoton//
//lagu ini khusus kubuat untuk padukaku kan ku ajak kau pergi dan terbang tinggi
ku ingin kau lihat apa yang terjadi//
Mencanangkan upaya bersama
Dalam sesi Tanggapan dan QnA Ikhsan, seorang mahasiswa asal Bayat, menyoroti disparitas pemahaman demokrasi masyarakat khususnya di Klaten. Menurutnya, ada semacam pembiaran atas ketidaktahuan masyarakat sehingga mudah ditarik dalam seremoni demokrasi dan minim melanjutkannya dalam upaya yang lebih berjangka panjang. “Lantas apa solusi kongkritnya?”
Hakim Azis, mahasiswa asal ceper, juga memiliki keresahan bahwa demokrasi hari ini tak ubahnya sistem predatoris yang menumbalkan masyarakat banyak. Setiap rezim berganti dan berlanjut bertambah pula imbas keburukan menimpa masyarakat. Korupsi, pembungkaman, tren pendidikan mahal, perusakan lingkungan adalah wujud nyata.
Analogi berbeda diberikan oleh Budi Febrianto yang menyebut bahwa praktik demokrasi kita hari ini layaknya Bajai. Demokrasi kita bukan Tesla atau Lamborgini. Menurut Budi, Bajai memiliki suara yang bising, kadang mogok, tidak bisa berakselerasi cepat, serta memungkinkan pemeliharaan yang ribet. Menurutnya, esensi demokrasi kita hari ini masih jauh dari kelayakan.
Dari perspektif perempuan tak ketinggalan memberikan tanggapan terkait situasi hari ini. Dika W, menyoroti minimnya ruang berbagi ide di Klaten turut menyumbang absennya gerakan dan konsolidasi sipil di Klaten. Faktanya, Klaten sedang mengalami banyak problematika namun masih minim counter narasi, dan seolah-olah masih aman-aman saja.
Forum ini mampu berjalan dalam dinamika yang antusias dan menarik. Forum tanggapan dari hadirin yang menyuarakan keresahannya kemudian kembali ditanggapi para panelis dengan antusias.
Ketika dalam sesi Quizz menampilkan sebuah skala untuk merefleksikan upaya pembentukan ruang demokratis yang lekat dengan kehidupan sehari-hari, quadran penilaian menunjukkan konotasi positif. Mayoritas jawabannya adalah memberi kepercayaan untuk saling menginisiasi gerakan dan lebih mementingkan kerja kolektif kelembagaan (workteam).
Hasil ini kemudian dielaborasi oleh Purnawan yang menyatakan bahwa karakteristik dari generasi hari ini memampukan mereka bekerja secara kolaboratif alih-alih kompetisi. Hal tersebut menjadi penanda bahwa biasanya komunitas yang berbasis anak muda memiliki karakter egaliter dan cenderung menghidari hierarki yang ketat.
Imbuh Purnawan, maka dalam upaya struktural sangat perlu diakselerasi melalui pendidikan politik dalam institusi pendidikan formal. Sebab disparitas pengetahuan demokrasi yang subtantif memang nyata, sedangkan media sosial masih memiliki problem pembentukan “echo chamber” yang membuat tak bisa diakses seluruh lapisan masyarakat.
Aulia juga memberikan tanggapan menarik sebagai otokritik gerakan sipil hari ini. Pasalnya, kanalisasi ide dari para penggerak sosial kurang dirasakan seturut dengan medium pendekatan yang minim improvisasi. Ia mencontohkan kasus Haris-Fatia mampu menjadi isu bersama sebab masyarakat merasa dekat, demikian juga gerakan dari Pandawara Grup yang viral. “Maka, kita perlu memperkaya cara penyampaian gagasan agar masyarakat merasa dekat dulu, sebelum pada akhirnya terlibat. Jangan dibalik,” pungkas Aulia.
Sementara Supri memberikan tanggapan dalam tataran pragmatis bagaimana seorang pemuda mampu terlibat dalam upaya perbaikan. Ia mencontohkan gelaran pemilu di desa sarat akan kecurangan, yang mana petugas KPPS justru menjadi agen kecurangan dengan memanfaatkan lansia dan difabel.
“Maka jika kita mampu jadi KPPS jadilah KPPS yang baik. Sebab itulah yang bisa kita lakukan dan sebab beban kesejarahan kita belum sebanyak orang yang memilih untuk melakukan kecurangan itu tadi,” paparnya.
Malam itu hujan memang mengguyur dengan awet. Sejak sebelum acara dimulai hingga sebelum acara dipungkasi, gemercik suara air jatuh masih terdengar. Semakin menambah syahdu dinamika forum demokrasi. Gerimis datang dan menjadi penanda hujan reda tepat ketika forum ini akan usai.
Sebelum acara benar-benar pungkas, para hadirin diperkenankan menulis refleksinya dalam Quizz. Banyak sekali harapan dan catatan yang masuk. Dalam sisi personal ada yang merefleksikan mulai muncul kesadaran untuk kritis, memilih paslon tanpa label identitas, hingga muncul kesadaran untuk merevisi anggapan mengenai politik selama ini.
Dalam sisi kolektif-sosial muncul catatan untuk perlunya pembentukan komite politik di Klaten, menuntut keadilan tentang masa depan generasinya, membenarkan pemikiran politik Uciha Madara, dan keberlanjutan forum-forum seperti ini di Klaten.
Rintik hujan yang kian mereda dan lantaran hembusan angin yang gigil menusuk kulit menjadi penanda bahwa langit mendung akan mulai tersibak. Catatan refleksi telah diudarkan satu persatu dan acarapun dipungkasi. (*)