Almarhum KH Muslich (1910-1998) adalah salah satu putra terbaik Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Atas jasa-jasanya yang luar biasa terhadap terhadap Negara dan Bangsa Indonesia, beliau memperoleh kehormatan “Bintang Mahaputera Utama”. Tanda kehormatan itu tertuang dalam Keputusasn Presiden RI Nomor 119/TK/2000 tanggal 4 November 2000.
***
Kiprah ulama yang satu ini terbilang paripurna. Menyebut nama KH Muslich identik dengan seorang ulama pejuang, birokrat, dan perintis sejumlah Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) di negeri ini. Mengingat semasa akhir hidupnya tinggal di Dusun Karangsuci, Kelurahan Purwonegoro (Purwokerto), beliau akrab dengan sapaan Kiai Muslich Karangsuci.
Almarhum meninggal dunia pada Kamis Pon, 24 Desember 1998. Meskipun sudah lama berpulang, semangat juang, jiwa sosialnya sungguh patut kita diteladani. Untuk mengenang jasa-jasa almarhum, maka diselenggarakanlah peringatan tahunan (haul). Rangkaian kegiatan haul kali ini meliputi ziarah ke makam pendiri Yayasan Al-Hidayah Purwokerto (16-18/12/2024), Semakan Al-Qur’an di Masjid Al Hidayah Karangsuci Purwokerto (26/12/2024).
Rabu (1/1/2025) lusa, adalah puncak peringatan haul ke-26 KH Muslich. Puncak acara tersebut berupa Pengajian Akbar oleh KH Anwar Zahid dari Bojonergoro (Jawa Timur), didahului pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an oleh Qori Internasional KH Muammar ZA. “Acara pengajian ini terbuka untuk umum. Tempatnya di halaman SMP Diponegoro 3 Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, mulai pukul 19.30 WIB,” kata Ketua Panitia, Adi Nugroho SPd.
Lalu, seperti apa sosok dan perjalanan hidup KH Muslich?
Muslich kecil lahir di desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo (Kabupaten Banyumas), pada Ahad Wage: 20 Februari 1910. Putera pasangan Kiai Hasanbasari dan Nyai Sri Inten ini menamatkan pendidikan dasar di SD Notog (1921).
Setelah itu, Muslich muda memperdalam ilmu agama di Madrasah Mambaul Ulum Sala hingga tamat kelas IX (1929). Selama di Sala (Surakarta), pagi hari pemuda Muslich belajar di Mambaul Ulum. Sore harinya belajar di Madrasah Sunniyah (Keprabon Tengah), dan malam hari mengaji Al-Qur’an kepada KH Kholil (Kauman).
Selain itu, remaja Muslich juga belajar fiqh kepada sejumlah ulama di Keprabon maupun Jamsaren. Dari aktivitas tersebut, dapat dilihat betapa tinggi semangat belajar Muslich muda waktu itu.
Tidak saja Madrasah dan pengajian kitab, kursus-kursus keagamaan model Muhammadiyyah pun diikutinya. Dalam hal ini, ia mendapat banyak pengalaman dari tokoh Muhammadiyyah, semisal Kiai Muchtar Buhari, KH Idris, dan Muljadi Djojomartono. Sangatlah nyata, sebagai seorang nahdliyin, sosok Muslich tak menutup diri dalam mencari ilmu dan pengalaman hidup.
Pengetahuan lain banyak diperoleh secara autodidak, dengan cara membaca berbagai literatur dan buku-buku pengetahuan.
Secara temporer, Muslich muda juga sempat tabarukan di sejumlah pesantren, seperti Pesantren Bogangin (Sumpiuh), Pesantren Leler (Banyumas), Tebuireng (Jombang), Tremas (Pacitan), dan Krapyak (Yogya).
Semenjak usia 16 tahun, pemuda Muslich mulai terjun di kepanduan SIAP (1926), Pemuda Muslimin Indonesia (1928), dan PSII (1930).
Bersama dengan H Agus Salim, AM Sungadji, Mr Mohammad Roem, dan tokoh-tokoh lain yang satu haluan, Muslich dipecat dari keanggotaan PSII. Setelah itu, dirinya bergabung dan mendirikan Gerakan Penyadar PSII di bawah pimpinan H Agus Salim.
Semenjak 1937, pemuda Muslich aktif sebagai Pengurus NU Cilacap. Sejak saat itu karier Muslich di kepengurusan NU terus melejit dari kepengurusan di tingkat Cabang, Wilayah hingga Pusat.
Selama kurang lebih 33 tahun lamanya Kiai Muslich aktif di organisasi NU. Pada tahun 1970, Kiai Muslich memutuskan diri untuk non-aktif di kepengurusan NU. Beliau memilih berkonsentrasi mengurus sejumlah Majlis Taklim dan mengelola Yayasan Perguruan Al-Hidayah.
Untuk diketahui, pada 10 November 1957, KH Muslich menginisiasi berdiri Yayasan Al-Hidayah di Purwokerto, Jawa Tengah. Beberapa tokoh yang tergabung sebagai pendiri yayasan ada KH Mukhlis (Lesmana), KH Muslim (Wakafiyah), KH Chudlori (Purwokerto), dan KH Samingun (Parakan Onje).
Saat ini, Yayasan Al Hidayah Purwokerto mengelola sedikitnya delapan lembaga pendidikan formal, yakni MTs Al-Hidayah Purwokerto, SMA Diponegoro 1 Purwokerto, SMK Diponegoro 3 Kedungbanteng, SMK Diponegoro 1 Karangbenda, SMP Diponegoro 3 Kedungbanteng, SMP Diponegoro 1 Karangbenda, SMP Diponegoro 5 Wangon, dan SMP Diponegoro 7 Gumelar.
Selain di Purwokerto, Yayasan Al-Hidayah juga mengelola sejumlah lembaga pendidikan formal (SMP, SMA, SMK) di bilangan Rawamangun dan Cakung Jakarta Timur.
Perjalanan Karir
Karir sebagai guru dilakoni Kiai Muslich setamat Mambaul Ulum Sala. Setelah menunaikan ibadah haji, dirinya diangkat sebagai guru Mambaul Ulum Purwokerto (1930). Tahun 1935 ia diberhentikan dari Mambaul Ulum karena diketahui tercatat sebagai anggota PSII. Akhirnya, ia pun pindah ke Cilacap dan mengajar di Kweekschool Islamiah (milik PSII).
Tahun 1944, Muslich masuk menjadi anggota Barisan Hisbullah hingga mencapai puncak karir sebagai Komandan Hisbullah Divisi Banyumas. Dari situlah Muslich kemudian masuk sebagai anggota TNI.
Dua tahun berikutnya (1946), Muslich diangkat sebagai Penghulu Kabupaten Cilacap. Ia dimutasi sebagai Kepala Jawatan Agama Karesidenan Madiun (1947) dan merangkap sebagai Perwira Penghubung di Markas Besar Pertempuran (MBP) Jawa Timur.
Sebagai Perwira Penghubung, pangkat Muslish adalah Mayor. Atas jasa-jasanya ia pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel. Tahun 1949 ia dipromosikan sebagai Kepala Kantor Agama Propinsi Jawa Timur.
Setahun kemudian dimutasi sebagai Kepala Kantor Agama Propinsi Jawa Tengah. Seperti sebelumnya, di Jawa Tengah beliau pun merangkap tugas ketentaraan (Divisi Diponegoro Jawa Tengah).
Kiai Muslich mengajukan permohonan berhenti dari Dinas Ketentaraan pada 1951. Tugas utama beliau selanjutnya adalah menyusun Jawatan Agama Pusat berkedudukan di Jakarta.
Dirinya juga sempat menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Utara, merangkap Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Sumatera Tengah (1953). Tahun 1954 ia dimutasi ke Semarang, setelah terpilih sebagai anggota DPR Pusat (Pemilu I) hingga pensiun dari DPR (1968).
Semasa di DPR, beliau pun merangkap tugas di Kementerian Agama. Tahun 1958, misalnya, menyusun kembali Kantor Agama Propinsi Sumetera Tengah pasca-peristiwa PRRI. Semasa duduk di Staf Komando Mandala (1961-1963), beliau bertugas menyusun Kantor Agama Propinsi Irian Barat.
Jabatan lain yang pernah dipegang adalah sebagai Anggota Badan Penampungan Bekas Tawanan SOB, Anggota DPR-GR/MPRS (1960), Anggota Dewan Perancang Nasional (1960-1964), Penasehat Menteri Urusan Transmigrasi (Menteri Tobing), Penasehat Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat (Menteri Sujono), Staf Ahli Menteri Bidang Hankam (Perdana Menteri Ir H Djuanda), Anggota Badan Otorita Jalan Lintas Sumatera (Menteri Ir Bratanata), dan lain-lain.
Pengalaman Pahit
Semasa penjajahan Jepang, Muslich berulang kali masuk penjara. Sebuah pengalaman pahit yang sungguh sulit dilupakan. Tuduhan (fitnah) yang dialamatkan padanya adalah ancaman maksimal pidana mati. Beliau sempat ditahan selama 4 bulan oleh Kompetei dengan tuduhan pengrusakan kabel-kabel militer.
Belasan kali dirinya menjalani peradilan di Pengadilan Cilacap, dengan pembela hukum Mr Mohammad Roem dan Mr Soedjono. Akhirnya, ia divonis dua tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun.
Semasa pensiun, Kiai Muslich memilih tinggal sebuah “rumah bambu” terletak di atas sebuah kolam. Di rumah sederhana, di tepi sungai yang terdengar gemericiknya di Karangsuci Purwokerto, Kiai Muslich banyak menerima tamu dan mendengar berbagai keluhan umat.
Sebagai pensiunan anggota DPR dengan gaji 1,7 juta rupiah, ternyata Kiai Muslich tak mengambilnya sepeser pun. “Uang itu saya kembalikan kepada umat Islam, terutama warga NU yang telah memilih saya sebagai anggota DPR,” kata Kiai Muslich, seperti dituturkan kembali oleh Ahmad Tohari.
Kemana gaji pensiuanan DPR itu disalurkan? Tidak lain kepada Panitia Pembangunan Masjid, Madrasah maupun Sekolah yang dikelola oleh warga nahdliyin.
Suatu ketika, budayawan Ahmad Tohari pun terkejut menerinya surat dari Kiai Muslich. “Tanah di sebelah rumahmu sudah menjadi milik saya. Saya wakafkan dan tolong Anda urus untuk keperluan pendidikan dan sosial,” demikian bunyi surat itu.
Kiai Muslich telah berpulang ke hadirat Allah SWT 26 tahun silam. Akan tetapi kerja keras, keuletan, dan semangat juangnya selalu aktual untuk dikenang dan diteladani.(Akhmad Syaifudin)