YOGYAKARTA – Bertepatan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni setiap tahunnya, ratusan anak muda yang tersebar di beberapa kota seperti Yogya, Jakarta, Makassar, Sukabumi, Bali, Samarinda, Serang, serta Bekasi, kembali melakukan aksi di masing-masing daerah. Dalam aksi tersebut, mereka berupaya mendesak pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa menyelamatkan kerusakan lingkungan.
Perwakilan dari berbagai organisasi, kelompok, maupun komunitas yang ada di Yogyakarta juga turut melakukan aksi yang bertemakan “Nyalakan Bunyi Tanda Bahaya”. Aksi digelar di Tugu Pal Putih Yogyakarta.
Ginanjar, salah satu peserta aksi dari BEM SI Kerakyatan mengungkapkan, lingkungan Indonesia sedang berada di keadaan gawat darurat. Pada 5 bulan pertama 2021 saja, jutaan masyarakat sudah mengalami dampak dari krisis iklim dalam bentuk bencana hidrometeorologis yang datang bertubi-tubi dengan intensitas ekstrem.
Jika pemerintahan Jokowi dan para menteri, lanjutnya, masih dan terus mengeluarkan kebijakan yang mengatasnamakan perhitungan angka ekonomi dan investasi, maka sama saja dengan mengabaikan lingkungan tempat hidup, dan keselamatan rakyat secara keseluruhan.
“Realitanya, Indonesia berada di situasi darurat Iklim ini akibat perampasan tanah masyarakat, eksploitasi alam, hutan, lahan dan lautan secara masif, sistematis dan terstruktur, yang masih terus dipermudah oleh ketidakbijakan pemerintah. Hutan kita terus digerus, bumi kita ditambang, dan hak kehidupan kita direbut,” tambah Ginanjar.
Krisis iklim telah berdampak cukup berat pada perempuan desa maupun perkotaan. Menurut Aji, peserta aksi lainnya, salah satu perwaklilan dari Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih Yogyakarta, bencana alam yang disebabkan oleh krisis iklim seperti kekeringan, banjir, dan cuaca ekstrem menambah beban ganda perempuan. Serta, berpengaruh juga pada kesehatan reproduksi perempuan yang disebabkan kurangnya ketersediaan air bersih.
Dampak krisis iklim yang dialami perempuan masih belum dipandang suatu masalah yang berat pada banyak daerah di Indonesia. Lanjut Aji, perempuan perlu dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan kebijakan perubahan iklim.
Novita Indri, dari Climate Ranger yang juga peserta aksi mengatakan, langkah yang perlu diambil Indonesia ialah, segera menentukan program penurunan emisi dalam NDC yang ambisius. Bukan seperti saat ini yang tidak selaras dengan Perjanjian Paris, sehingga malah memperburuk situasi.
Keseriusan menetapkan target, lanjut Novita, harus dilakukan dengan target penurunan tahunan, bukan menetapkan net zero di tahun yang masih lama, seakan melemparkan tanggung jawab ke generasi berikut. Serta banyaknya putar balik kebijakan dan hitungan yang hanya melindungi para penyumbang emisi, seperti pengusaha batubara dan energi fosil lainnya, membuat masa depan Indonesia dipertaruhkan.
“Jika kita mau menjadi negara super power untuk melindungi bumi, maka setidaknya kita harus berhenti melakukan penghancuran bumi itu sendiri,” imbuh Novita.
Senada dengan Novita, Syaharani dari Jeda Untuk Iklim dan juga peserta aksi, menambahkan, ketika para pejabat bermain angka, masa depan generasi muda dipertaruhkan. Hak untuk hidup dan tumbuh di lingkungan yang baik merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Namun, tegasnya, kebijakan yang mendatangkan bencana malah dimuluskan.
“Generasi muda berhak menggugat pemerintah yang lalai dan mengambil andil dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang kita butuhkan untuk keluar dari krisis iklim. Sudah cukup kita menyaksikan dari garis samping ketidakbijakan yang terus keluar dan menghancurkan masa depan saya, keluarga kita, dan rakyat Indonesia,” pungkas Syaharani.
Tuntutan yang dibawa dalam aksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, ialah:
1. Deklarasikan Darurat Iklim. Mendeklarasikan darurat iklim agar pemerintah dapat mulai bekerja dengan seluruh lembaga negara lainnya dalam menyegerakan perubahan sistemis. Ini termasuk penyebarluasan kebenaran melalui semua media massa dan lembaga pendidikan agar semua lapisan masyarakat bisa bergerak serentak ke arah yang benar.
2. Mitigasi. Mencabut semua kebijakan yang merusak lingkungan dan menetapkan kebijakan-kebijakan strategis yang memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan manusia, hewan, lingkungan hidup, dan hak generasi saat ini dan selanjutnya. Serta melibatkan secara inklusif perempuan dan masyarakat marjinal dalam pembuatan kebijakan perubahan iklim.
3. Demokrasi. Mengesahkan pembentukan dewan rakyat yang adil dan representatif sebagai entitas yang berdaulat untuk menyusun dan mengawasi pelaksanaan seluruh kebijakan yang dibutuhkan untuk keluar dari krisis iklim. Merumuskan kebijakan yang dibutuhkan akan menjadi dasar aksi yang akan dijalankan pemerintah sebagai aksi penanggulangan krisis iklim, yang mengikat secara hukum dan pelaksanaannya bisa dipertanggungjawabkan dan diawasi masyarakat secara riil. (Septia Annur Rizkia)