Servis Sepeda Tua Habis Rp880 Ribu, Jakiman Kuat Ngonthel Sepeda dari Jatilawang Menuju Yogya

BANYUMAS – Menepi di pinggir jalan raya, ngobrol sembari melihat aktivitas merontokkan padi dengan alat gepyok manual dilakukan Juwadi dan Suparsono usai keduanya menuntaskan hobi bersepeda pagi. Jarak kurang lebih 2 km telah mereka tempuh dari rumah di Desa Tunjung, menuju Situ Bamban di Kedungwringin, Kecamatan Jatilawang. “Sekadar jalan-jalan, melemaskan otot kaki, ngonthel sepeda Jawa untuk menjaga kesehatan,” tutur Suparsono, Senin, 1 Maret 2021.

Onthelis seperti Juwadi dan Suparsono yang sudah berumur memilih jenis sepeda Jawa sebagai tunggangan. Di wilayah Jatilawang, para petani seperti mereka umumnya masih merawat sepeda Jawa berusia tua.

“Rute nyepeda tak selalu sama. Tapi paling sering menempuh rute di seputaran Tinggarjaya, Tunjung, Kedungwringin, Pekuncen, Adisara, sesekali menuju Bendung Gerak Serayu. Minggu paling banyak dipilih sebagai momen sepeda ramai-ramai. Kumpul dulu baru menentukan tujuan mau ke mana,” tukas Suparsono yang juga anggota komunitas sepeda Kojamas.

Bila Suparsono dan Juwadi memilih trek lokal jarak dekat saat jalan-jalan mengayuh sepeda, Jakiman yang masih satu desa dengan Suparsono punya pengalaman berbeda. Jakiman pada 2019 lalu bersama 9 orang rekannya bersepeda menempuh jarak lumayan jauh. Dari Jatilawang dia ngonthel sampai Yogyakarta.

Baca Juga:  Pengembangan Kawasan Mina Padi Polaman Mengarah pada Konsep Ekowisata

“Karena umur sudah tua 68 tahun, maka ngonthel sekuatnya. Nggak bisa ditarget jam. Berangkat habis Jumatan sampai Yogya sehari berikutnya saat Magrib. Berkali-kali istirahat,” ujar Jakiman yang mengaku pulang kembali ke Jatilawang dia masih kuat menempuhnya dengan sepeda, sementara beberapa rekan lainnya menyerah, pulang diangkut truk dari Gamping.

Suparsono melepas lelah di pinggir jalan sehabis bersepeda pagi (Foto: Sukron/Wiradesa)

Sejumlah persiapan dilakukan Jakiman. Selain menjaga kebugaran fisik, sepeda Jawa merek Phoenix yang ia beli seharga Rp1,3 juta terlebih dulu didandani. Ban depan belakang beserta pelk dan ruji diganti baru. Demikian pula pada rantai, rem, hingga sadel. “Bersepeda nyari senang. Tak ada sponsor. Selama perjalanan ongkos makan minum, menginap, sewa truk diusahakan bareng-bareng. Kalau untuk menyervis sepeda agar enak dikendarai saya habis Rp 880 ribu,” kata Jakiman yang sehari-hari mengaku bekerja sebagai buruh tani.

Obrolan para penggemar sepeda tua pagi itu tak jauh-jauh dari soal sepeda. Suparsono menunjukkan sepeda Gruno keluaran pabrikan Belanda miliknya. Ia menceritakan sepeda miliknya didapat beberapa tahun lalu seharga Rp3,7 juta. Sejarahnya, sepeda tersebut bekas milik seorang misionaris pada zaman Belanda. Dia mendapatkannya dari tangan seorang kolektor sepeda tua asal Wangon.

Baca Juga:  Petani Cerdas Air: Irit Air Tapi Panen Berlimpah

“Dulu pernah punya sepeda Himber dan Hercules, tapi sekarang tinggal Gruno,” imbuhnya seraya menyebut merawat sepeda tua seperti Gruno, Simplex bagi Suparsono ditujukan pula sebagai upaya mengenang orangtua zaman dulu, yang bepergian ke mana-mana jauh maupun dekat menempuhnya dengan sepeda. (Sukron Makmun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *