SLEMAN – Ingatan terhadap erupsi besar sepuluh tahun lalu kembali terbuka saat terjadi peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Warga yang tinggal di lereng Merapi saat ini tampak lebih siap menghadapi kondisi terburuk bila terjadi letusan eksplosif yang mengharuskan mereka tinggal di lokasi pengungsian.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) sejak 5 November 2020 telah menetapkan status Siaga dari semula status Waspada setelah terjadi peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Merapi. Adanya potensi bahaya berupa guguran lava dan lontaran material vulkanik serta awan panas dalam jarak 5 km membuat warga terutama para lanjut usia, wanita dan anak yang tinggal di beberapa dusun di lereng Merapi mengosongkan kampung dan mereka tinggal sementara di pos pengungsian atau tempat aman lainnya.
Kesiagaan menghadapi potensi letusan Merapi juga dilakukan oleh warga yang tinggal pada jarak lebih jauh dari radius 5 km dari Puncak Merapi. Meski tetap tenang, sejumlah persiapan tampak telah dilakukan.
“Saat ini jarak 5 km dari puncak harus kosong. Tetapi kami yang tinggal di radius 10-an km juga siap bila sewaktu-waktu harus mengungsi,” ujar Sudaryo (80) warga Mudal Argomulyo Cangkringan, Sleman. Sejumlah persiapan telah dilakukan Daryo. Secara pribadi, bersama anggota keluarga ia telah menata pakaian dan mengemasnya rapi. Satu unit kendaraan roda empat miliknya telah diungsikan di lokasi aman sehingga manakala ada perintah mengungsi sewaktu-waktu, proses evakuasi akan berjalan cepat. “Kendaraan untuk mengungsi sudah dipersiapkan. Bahkan mobil warga diparkir menghadap jalan. Termasuk mobil saya. Usai dipakai, pulang langsung parkir menghadap selatan. Menghadap ke arah jalan jalur evakuasi,” ujarnya saat ditemui Wiradesa.co di kediamannya, Rabu (25/11/2020).
Persiapan matang tersebut tak lepas dari sosialisasi mitigasi bencana oleh pihak pemerintah desa dan kecamatan selama ini. Di samping itu, menurut Daryo, warga Mudal termasuk dirinya punya pengalaman berharga menghadapi erupsi eksplosif Merapi pada 2010.
Lokasi perkampungan tak jauh dari Kaligendol. Pada erupsi 2010 tepatnya pada 3 November 2010 malam, terjadi semburan material vulkanik disertai hujan lebat. Mengakibatkan pohon-pohon porak poranda. Aliran material vulkanik panas menghantam kuat Sabodam Kaligendol mengakibatkan rumah-rumah di sekelilingnya terbakar dan hilang tersapu. Korban jiwa pun berjatuhan di dusun yang ada di sebelah barat Mudal.
“Sepuluh tahun berlalu, saat itu sudah ada firasat bakal terjadi sesuatu. Tanda alam yang dirasakan berupa intensitas gempa sangat terasa. Kaca jendela sampai berulang kali berderak dan bergetar sejak erupsi 26 Oktober 2010. Intensitas terus meningkat. Maka pada 3 November 2010 sore saya mengungsi ke tempat kerabat di Condongcatur. Malamnya pukul 24.00 terjadi musibah itu. Dan yang bertahan di kampung mengalami kesulitan mengungsi karena jalan terhalang pohon-pohon bambu yang tumbang. Jalan licin tertutup lumpur vulkanik pekat. Akhirnya banyak kendaraan yang ditinggal begitu saja. Warga banyak yang memilih berlari,” kenang Daryo.
Sebagai warga kategori lanjut usia Daryo mengatakan, dirinya tetap tenang namun telah berhitung matang. Termasuk siapa yang harus mengemudikan kendaraan dan lewat jalur evakuasi mana yang bakal dilewati manakala diperintahkan mengungsi sewaktu-waktu. Warga pun saling mengingatkan lewat grup Whatsapp agar senantiasa siaga. Tanda alam seperti gempa yang dirasakan terus-menerus seperti sepuluh tahun lalu memang belum dirasakan warga. Warga Mudal termasuk Daryo masih beraktivitas seperti biasa. Namun, pengalaman sepuluh tahun lalu rupanya sangat membekas sehingga praktis hal itu membuat warga lebih berhati-hati sembari terus mencermati perkembangan Merapi. (Sukron)