Kasus penusukan oleh sejumlah pemuda yang diduga mabuk di Prawirotaman, Kota Yogyakarta pada Rabu (30/10) lalu direspon oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui Instruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 2024. Instruksi tersebut mengatur inventarisasi, pengawasan, hingga peredaran minuman beralkohol di Yogyakarta.
Menanggapi edaran pengawasan minuman beralkohol ini, Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, M.Si., memberikan apresiasi karena isu peredaran minuman keras (miras) selama ini memang belum diawasi secara maksimal. Pasalnya Yogyakarta sebagai Kota Pelajar sekaligus Kota Pariwisata tentunya memiliki tingkat mobilitas penduduk yang tinggi. “Kalau dilihat masalah miras ini tidak hanya dari jual-belinya saja, tapi sebagian besar penduduk Jogja kan bukan penduduk asli. Barang bebas masuk dari mana saja,” jelas Derajad.
Instruksi gubernur yang segera dirilis setelah kejadian penusukan tersebut dinilai cukup responsif. Meskipun seharusnya pemerintah sejak awal sudah bisa mengantisipasi langkah pengendalian penyebaran miras. Selama ini, industri miras selalu bergerak secara underground dan tidak bisa dikendalikan pemerintah. Kalau hanya melihat sektor formal, regulasi tersebut sangat relevan, sayangnya justru persebaran miras secara informal yang perlu pengawasan khusus. “Sudah bagus, walaupun penanganannya bisa dibilang terlambat. Sejauh ini belum ada badan khusus yang ditugaskan mengawasi jual-beli miras. Instruksi tersebut hanya mengatur sektor formal saja,” ucap Derajad.
Menurutnya, sektor informal yang berperan besar menggerakkan industri miras ini. Ia menggambarkan fenomena gunung es sebagai representasi, di mana industri miras yang dapat terlihat hanya di permukaan saja. Sedangkan aktivitas jual beli miras lainnya tidak terkendali.
Selain itu, industri miras turut berperan besar dalam perekonomian Yogyakarta. Sektor pariwisata khususnya, diduga banyak ditopang oleh industri miras itu sendiri. Derajad menambahkan, minimnya pengawasan terhadap industri miras membuat peredaran uangnya juga tidak dapat dideteksi. Baru-baru ini, Polresta Yogyakarta menemukan terdapat lebih dari 90% outlet terbukti menjual miras ilegal dan telah ditutup secara massal. “Ia memang underground economy, jadi sulit pengawasannya. Selain peredarannya, produknya itu sendiri juga perlu diawasi. Mungkin produk yang resmi beredar bisa terdata, tapi bagaimana dengan produk oplosan, misalnya?,” pungkas Derajad.
Ia menambahkan, untuk menangani masalah tersebut pemerintah perlu mengetahui dulu industri miras yang selama ini berjalan. Alih-alih menekan peredaran, penjualan miras bisa diatur agar lebih terpusat. Dijelaskan Derajad, jual beli miras terpusat akan sangat membantu pemerintah mengawasi industri tersebut. Termasuk untuk mengimplementasi regulasi yang sudah berlaku. “Sarannya saya kira justru legalkan, tapi penjualannya terpusat. Kalau begitu nanti kita bisa tahu siapa penjualnya, siapa yang beli, perputaran uangnya ke mana. Itu jelas,” ucapnya.
Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengamanan Minuman Beralkohol mengatur inventarisasi peredaran miras, mengoptimalkan peran pemerintah daerah, hingga larangan penjualan secara daring dan pesan antar. Kendati demikian, regulasi tersebut belum mengatur pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi miras secara khusus. Hal ini menyebabkan regulasi yang berlaku justru sulit diimplementasikan.
Menurut Derajad, fungsi pengawasan harus dilakukan oleh dua pihak. Pertama, elemen masyarakat perlu dilibatkan secara ad hoc, khususnya mereka yang memiliki keahlian mengenali jenis-jenis miras yang beredar. Pasalnya, banyak ditemukan kasus miras diracik sendiri oleh oknum-oknum tertentu dan diperjualbelikan secara bebas. Elemen masyarakat tentu akan lebih mengenal dan mengetahui distribusi dari produk miras tersebut.
Kedua, harus ada lembaga yang mampu mengawasi secara terus menerus dan berlapis. Mulai dari jenis produk, sampai perputaran ekonominya. “Perlu diawasi dari segi produknya juga. Kalau kita bicara anggur (atau miras) itu kan bermacam-macam kadar alkoholnya. Banyak pakar dan elemen perhotelan itu saya kira lebih tahu. Mereka juga perlu dilibatkan,” kata Derajad. (*)