MAU untung malah buntung. Itulah kenyataan yang dirasakan sebagian besar warga desa yang membuka usaha Pertashop di sekitar tempat tinggalnya. Hanya sekitar 30 persen yang jalan.
Awalnya, mereka tergiur dengan program Pertamina yang bernama Pertashop (Pertamina Shop). Karena info kemitraan sebuah badan usaha usaha milik negara itu keuntungannya lumayan besar.
Misalnya dengan mengambil skema dan spesifikasi Gold. Modal yang diperlukan Rp 250 juta (biaya pertashop dan pengiriman). Riciannya untuk modal pembelian produk (Pertamax) Rp 20 juta (Rp 8.150 x 2.000/hari + biaya lain-lain).
Keuntungan Rp 850 per liter (untuk sales 1 sampai 1.000 liter per hari). Estimasi pendapatan per hari, minimal 400 liter per hari. Jadi pendapatan per hari minimal Rp 340.000. Jumlah ini cukup besar bagi seorang warga desa.
Dengan hitungan-hitungan di atas kertas yang menggiurkan, Bambang Heriyanto dan temannya, warga Sumberharjo, Prambanan, Sleman, memutuskan untuk mengambil skema dan spesifikasi Gold.
Lantas mereka mengupayakan dana Rp 350 juta, dengan rincian Rp 250 juta untuk biaya peralatan Pertashop dan pengiriman BBM. Sedangkan Rp 100 juta untuk kebutuhan lainnya. “Kebetulan tanah 200 meter persegi yang dipakai Pertashop itu milik kami sendiri,” ujar Masbeng, panggilan akrab Bambang Heriyanto, Rabu 2 Agustus 2023.
Ternyata hitungan-hitungan Pertamina itu hanya di awal saja. Mereka tidak memperhitungkan gejolak harga yang tidak menentu dan itu tidak diketahui warga desa, seperti Masbeng.
Pada awalnya, Januari 2022, saat harga Pertamax Rp 9.000 per liter, penjualan dan pendapatan sesuai harapan. Tetapi saat terjadi kenaikkan harga Pertamax yang terus menerus, mulai April 2022 Rp 12.500, kemudian Agustus Rp 13.000, dan September mencapai Rp 14.500 per liter, tingkat penjualannya terus merosot.
Akhirnya Pertashop miliknya di Jalan Pereng Raya Sumberharjo, Prambanan, tutup atau tidak beroperasi lagi sejak April 2023. Dia baru menyadari, kenapa hanya Pertamax yang dijual di Pertashop. Kenapa bukan Pertalite atau bahan bakar yang bersubsidi yang dijual di Pertashop.
Jika penjualan bahan bakar minyak untuk melayani warga desa, warga yang pendapatannya relatif kecil, maka selayaknya Pertamina menjual BBM yang bersubsidi, bukan justru non subsidi. (*)