BANTUL – Usai motor terparkir tepat di depan Sekretariat Nasional Gusdurian, Sorowajan, Banguntapan, Bantul, seorang relawan Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan menunjukkan lokasi para relawan melakukan aktivitas. Para relawan sedang bertugas mengolah hingga mendistribusikan makanan ke pasar Beringharjo.
Siang itu, Rabu 17 Maret 2021, sejenak mereka berbincang-bincang, usai pendistribusian selesai dilakukan. Pada tahap 1-3, pendistribusian nasi kotak ada di empat titik pasar. Pasar Beringharjo, Giwangan, Gamping, dan Kranggan. Namun, karena donasi yang terkumpul mulai berkurang, pada tahap ke 4, hanya cukup menyasar satu titik, Pasar Beringharjo.
Berkah Gamulya, salah seorang inisiator Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan mengisahkan, awal mula terbentuk solidaritas pangan tersebut. Diperoleh informasi Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang terdiri dari 13 dapur sudah selesai sekitar September 2020, padahal ia merasa kondisi pandemi masih belum selesai.
Selain itu, pria berusia 41 tahun ini juga mendapat kabar kalau kondisi para buruh gendong perempuan masih belum membaik. Akhirnya, dengan dibantu para relawan yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Bantu Rakyat lainnya, pria yang akrab disapa Mulya ini membentuk kembali dapur umum dengan konsep yang berbeda dengan target yang sama. Menyasar kelompok profesi yang sama, dalam skala waktu tertentu yang lebih panjang.

Keputusan membuat dapur umum dengan memberi bantuan berupa makanan pada kelompok sama, dalam waktu yang cukup panjang, yang sudah berjalan sedari Oktober 2021, menurut Mulya, dampaknya akan lebih besar dibanding dengan memberikan secara acak.
“Kalau random kan, kadang dapat, kadang tidak. Tapi kalau diberikan terus-terusan, tentu cukup membantu soal makanan, kemudian soal menghemat dan kepastian dari awal juga ke mereka yang terdiri dari ibu-ibu dan juga mbah-mbah. Tahap 1-4 ini, jadi selama 25 hari dalam sebulan, mereka sudah aman. Berapa pun yang ia dapat hari ini, makan siang aman,” lanjutnya.
Pria kelahiran Batam ini juga menyampaikan, dengan begitu, keamanan pangan para buruh gendong perempuan yang memperoleh bantuan secara berkala setiap Senin-Jumat, pukul 07.00-12.00 tersebut bisa terasa, meskipun dalam skala pribadi.
Sebab, penghasilan dari para buruh gendong perempuan tersebut tak sebanding dengan beban pekerjaannya. Dalam setiap beban barang gendogan bisa sampai 50 kg, dengan upah yang tak seberapa.
Alasan menyasar ke buruh gendong perempuan, salah satunya karena merupakan kelompok rentan yang penghasilannya berkurang tajam. “Dulu yang minimal sehari mendapat Rp.50.000/hari, saat ini maksimal hanya Rp.25.000/hari. Pun mayoritas mereka terdiri dari lansia. Selain itu, mereka juga terorganisir sebab ada paguyuban juga. Dengan begitu, komunikasi dan koordinasi menjadi lebih mudah,” paparnya kemudian.

Proses pendistribusian yang dilakukan para relawan, yaitu dengan menurunkan nasi kotak di parkiran. Kemudian, sebagian dari mereka membantu membagikan ke buruh gendong lain. “Jadi bukan kami. Karena mereka lebih tahu anggotanya, jadi nggak ada yang kelewat, kelebihan atau kekurangan,” ucapnya.
Terkait jumlah relawan, dari tahap 1-4, terdapat 25-30 orang yang setiap hari memiliki jadwal begantian. Mereka juga menerapkan protokol kesehatan dengan membatasi jumlah relawan di dapur. Tiap hari ada 7-10 relawan yang membantu kegiatan di dapur. “Relawan bisa memilih mau hari apa saja,” terangnya.
Mulya, aktivis sosial ini menerangkan, Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan tersebut akan diusahakan berjalan terus selama pandemi belum berakhir. Tentu, selama donasi dan relawan masih ada. Sebab baginya, hanya solidaritas rakyat bantu rakyat yang mereka punya, di tengah krisis pangan dan kesehatan seperti saat ini.
Sedari Oktober 2020 hingga saat ini, Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan, membuka donasi dari siapa pun dan dari mana pun. Sampai saat ini, mereka memperoleh donasi tersebut dari masyarakat umum yang berempati terhadap buruh gendong. Donasi yang mereka terima pun beragam. Mulai dari uang, bahan makanan seperti beras, sayuran, lauk-pauk, maupun tenaga.
Harapan dari adanya gerakan solidaritas pangan yang lebih menyasar ke buruh gendong agar ada kelompok atau masyarakat lain, yang juga tergerak membuat gerakan serupa. Terutama untuk kaum marginal lain seperti tukang becak, penjual asongan dengan konsep fokus pada kelompok tertentu, secara berkala, dan dalam jangka waktu yang panjang.
“Supaya nantinya, kalau ada yang mau bikin dapur umum, pilih kelompok tertentu. Kalau acak kan, memberi orang sekian sekali dapat, besoknya nggak dapat. Terus ada saatnya kebanyakan sampai ditolak-tolak. Padahal di tempat lain ada yang nggak dapat sama sekali,” pungkasnya.
Terik matahari pun mulai menyengat. Sebab kegiatan di dapur sudah selesai, satu persatu dari para relawan mulai meninggalkan dapur umum yang lokasinya berdekatan dengan Kebunku Jogja. Sebelum obrolan yang cukup panjang disudahi, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih berada di tempat tersebut. (Septia Annur Rizkia)