Menurut Prof. Ahmad Erani Yustika, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi pada 2018-2019, di tengah pandemi yang meluluhlantahkan perekonomian pasar bebas, bangsa ini menghadapi sebuah momen penting dalam orientasi pembangunan ekonominya. Perubahan mendasar dalam sistem perekonomian dengan pembangunan desa sebagai pusatnya layak dikedepankan.
Oleh karenanya, perhatian perlu dicurahkan karena titik tumpu pembangunan ada di desa-desa. Sebuah pembangunan ekonomi kerakyatan yang bersesuian dengan sistem nilai Pancasila. Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiment (1759) menulis “Promosi kaum kaya dan – sebaliknya – pengabaian terhadap kelompok melarat adalah korupsi terhadap moral.” Pancasila selama ini adalah jiwa ekonomi desa.
Ekonomi kolektif yang dilaksanakan di desa membuat desa sebagai tempat lahir dan besarnya koperasi sebagai organisasi. Selain itu, menggunakan lembaga koperasi membuat warga desa memiliki kepemilikan atas usaha dan jerih payahnya. Mereka bukan sekedar menerima upah atas kerja yag dilakukannya, tetapi juga memiliki dan menentukan arah kerja badan ekonomi kolektif tersebut.
Ekonomi kolektif ini memungkinkan ada dan berkembangnya demokrasi ekonomi di desa. Keikutsertaan dalam gerakan kolektif memungkinkan adanya pemerataan akses dan aset oleh warganya. Institusi pemerintah haruslah mewadahi adanya demokrasi ekonomi dan politik sekaligus. Peran institusi negara yang aktif mampu memberikan penciptaan pekerjaan yang layak, kecukupan pangan – sandang – papan, pendidikan, kesehatan, bantuan fakir –miskin, dan lan sebagainya.
Kebangkitan Ekonomi Desa Berawal dari BUMDes
Rudy Suryanto sebagai penggagas Bumdes.id dan sekolah manajemen BUMDes, menyampaikan bahwa Bumdes.id adalah sebuah platform digital yang mencoba membantu menumbuhkan, menguatkan, dan mengembangkan BUMDes di seluruh Indonesia. Platform ini bisa dikatakan lahir dari Kampung Mataraman sebagai tindak lanjut dari Rembug Desa Nasional tahun 2017 yang mengundang 60.000 kepala desa. Dalam pertemuan tersebut tercetus Piagam Panggungharjo yang salah satu poinnya ialah mengembangkan ekonomi desa melaui BUMDes. Bumdes.id diinisiasi dan dikelola oleh Syncore Indonesia bekerja sama dan didukung oleh komunitas ABCGFM (Academics, BUMDes, Community, Goverment, Financial/Business, Media).
Berdeda dengan M. Laksana S. Adi Wibawa, S. IP., memaparkan tentang perlunya inovasi akar rumput untuk ekonomi berkelanjutan dengan mencontohkan sebuah desa wisata. Desa wisata diketahui mampu mendongkrak pendapatan ekonomi masyarakat melalui berbagai kegiatan ekonomi yang muncul seiring inovasi yang dilakukan. Bercermin dari desa wisata terbaik di Indonesia, Desa Pentingsari di Yogyakarta yang bertransformasi menjadi desa wisata sejak tahun 2008, mampu meningkatkan pendapatan warga secara signifikan jika dibandingkan sebelum menjadi desa wisata. Pada tahun 2017 omset warga desa tersebut dari pengelolaan pariwisatanya mencapai Rp 2,5 miliar per tahunnya, melonjak dari hanya sebesar Rp 30 juta dalam setahun pada tahun 2008.
Hal ini diakibatkan dari tumbuhnya homestay di sana, dari hanya 10 buah pada tahun 2008 hingga terdapat 50 buah pada tahun 2017 serta jumlah wisatawan yang datang mencapai 35 ribu wisatawan dalam setahun. Keberhasilan Pentingsari dalam mewujudkan ekonomi berkeadilan dalam melakukan inovasi akar rumput melalui transformasi menjadi desa wisata perlu direplikasi oleh komunitas desa dari berbagai daerah lain.
Pandangan berbeda Francis Wahono tentang ekonomi berkeadilan, memang sudah seharusnya kita setia menjadikan Pancasila dan rincian pasal-pasal UUD 1945 sebagai panduan bertindak baik di tingkat negara maupun rakyat. Kalau sampai saat ini belum sepenuhnya dijalankan, maka kita masih mengeja I-N-D-O-N-E-S-I-A. Kita perlu menggeser paradigma, cara pikir, dan cara bertindak bersama serta sendiri-sendiri. Pergeseran paradigma dibutuhkan untuk membangun dari pinggir, dari desa dan kampung, sebagaimana dicanangkan dalam NAWACITA Presiden Joko Widodo dengan penekanan pada pembangunan mutu SDM.
Pandemi Covid-19 bukan menghilangkan, justru mempertegas penting dan mendesaknya pembangunan dari desa dan kampung. Inti dari keadilan sosial bukan sama rata, atau rata-rata sama. Tetapi sama memandang dan merencanakan serta melaksanakan pada tumpuhan yang sama, yakni kebutuhan dasar hidup manusia. Kalau sampai di akar rumput, apalagi di ranah pribadi, seyogyanya hukum ekonomi materialistik seperti pasar bebas, kapitalisme dan hak milik pribadi berhenti dipakai. Hukum adat dan keluhuran etika yang dipakai. “Kelayakan atau kecukupan hidup” dipakai sebagai kriteria ekonomi budaya. Hukum bisnis cukup dicantelkan di pintu belakang. Sebab kebahagiaan hidup tidak bisa tercapai oleh penguasaan materi saja.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku setebal 160 hlm + xxxviii berisi berjuta-juta pengetahuan yang luar biasa tentang ekonomi berkeadilan, yang membuat pembacanya berselancar dengan mimpi-mimpi orang pintar yang peduli dan konsen terhadap perekonomian akar rumput (ekonomi desa atau ekonomi kampung). Ada beberapa tawaran yang di sampaikan dalam buku ini, seperti tawaran kebijakan strategis setingkat desa untuk berinovasi melalui “BUMDes”nya. Juga tawaran program setingkat desa untuk membangun dan mengimplementasikan kecerdikan masyarakat akar rumput dalam menghadapi krisis selama pandemi Covid-19.
Serta memberikan protret inovasi BUMDes dari perspektif yang berbeda seperti Bumdes.id, Bumdes Karangrejek, Bumdes Panggung Lestari, Bumdes Pentingsari, yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, studi penelitian dari narasumber. Tetapi sayang pengetahuan sebagus ini, tidak didukung performance buku kurang excellent, seperti cover, kertas cetaknya dan ukuran buku . Dan mungkin bagi orang awan kebanyakan , penggunaan diksi yang ilmiah bahasa asing kurang dimengerti atau difahami karena mungkin baru membaca atau mendengar diksi-diksi tersebut. Begitu pun terkait dengan sistematika urutan dan penulisan buku kurang detail, tidak disertai pendahuluan, isi dan penutup, serta tidak didetailkan bab per babnya.
Identitas Buku
Judul Buku: EKONOMI BERKEADILAN: Perekonomian dan Kemandirian
Dewan Redaksi: Wahyudi Anggoro Hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta dan Sholahuddin Nurazmy
Penerbit: Yayasan Sanggar Inovasi Desa
Cetakan: Pertama, Agustus 2020
Ukuran Buku: 13 x 19 cm
Tebal Buku: xxxviii + 160 halaman
Judul Resensi: Kebangkitan Ekonomi dari Desa
Resensator: Junaedi, S.E.
Junaedi, S.E.,
Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)