KEBUMEN – Singkong sebagai makanan tradisional dikenal oleh hampir seluruh kalangan masyarakat. Ada beragam sebutan untuk singkong, di antaranya ketela pohon, ubi kayu, ataupun roti sumbu.
Selain kesan sebagai makanan kampung yang selama ini melekat pada singkong, harga jual yang murah menjadikan budidaya singkong sebagai kegiatan yang kurang menarik dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Hal inilah yang kemudian memunculkan beragam ide untuk mengolah singkong agar lebih berdaya secara ekonomi.
Salah satu daerah penghasil singkong yang mengupayakan peningkatan nilai jual singkong yaitu Desa Kenteng, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Desa yang berjarak sekitar 7-8 km dari Kota Gombong ke arah timur laut ini memiliki kondisi tanah berbukit dengan produksi pertanian utama yaitu singkong. Harga singkong mentah yang hanya Rp 2000 per kilogramnya menjadikan Desa Kenteng sebagai salah satu desa di Kabupaten Kebumen dengan pendapatan ekonomi penduduk yang rendah.
Munculnya ide pengolahan singkong agar punya nilai jual lebih tinggi di Desa Kenteng dijelaskan Nurhayati (37), Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Kenteng. “Pada waktu itu, 2020, Desa Kenteng dianggap cukup terdampak pandemi Covid 19, makanya Bapeda Propinsi Jawa Tengah memberi bantuan satu unit mesin pengolah singkong. Bantuan mesin ini kemudian dimanfaatkan untuk mengolah singkong menjadi krekel yang kemudian diolah kembali menjadi oyek kristal,” ujar Nurhayati.
Kegiatan pengolahan singkong menjadi oyek kristal ini dilaksanakan dengan melibatkan ibu-ibu PKK dengan difasilitasi oleh pemerintah desa. Setelah singkong diolah menjadi oyek kristal, secara otomatis harga jualnya meroket tajam menjadi Rp 15.000 per kilogram.
Selanjutnya, guna lebih meningkatkan nilai jual dan menambah variasi jenis makanan berbahan dasar singkong, ibu-ibu PKK yang terbiasa membuat oyek kristal tersebut kemudian dilatih untuk membuat sagon oyek. Varian makanan ringan sebagai oleh-oleh khas dari Desa Kenteng kemudian dikemas menggunakan boks plastik ukuran ¼ kilogram dengan harga jual per boks Rp 15.000.
Setelah hampir satu tahun produksi, sekarang sagon oyek sudah mulai dikenal masyarakat dan menjadi salah satu oleh-oleh lokal yang seringkali dibawa oleh para pemudik saat kembali ke kota. Namun, satu kelemahan yang sampai saat ini masih menjadi kendala untuk meningkatkan penjualan yaitu belum ditemuinya ekspedisi yang dipercaya dapat mengirim dengan pengamanan ekstra untuk menjaga kualitas sagon oyek.
“Sagon oyek produksi kami diberi merk dagang “Husna”. Dikemas per 250 gram dengan harga Rp 15.000. Kendala dalam pemasaran produk sagon oyek ini di ekspedisi. Pernah coba kirim pesanan lewat jasa ekspedisi, tapi sampai sana remuk. Padahal sudah bilang sama pihak ekspedisi kalau isinya makanan, tapi nyatanya ya begitu. Jadinya yang mau bawa oleh-oleh sagon oyek harus bawa sendiri dan dijaga sendiri biar tetap utuh, tidak remuk,” kata Supriyati, yang sehari-hari menekuni usaha sagon oyek.
Semangat yang terus terjaga dan kreativitas yang makin berkembang nyatanya mampu menaikkan nilai jual sebuah produk. Semakin kuat motivasi ditularkan, maka bukan hal yang mustahil untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga meski hidup di daerah minus sekalipun. (Endah Tri Rachmani)