KLATEN – Prosesi pemakaman jenazah suspect Covid-19 tiba-tiba menjadi sedikit gaduh, karena relawan pemakaman jenazah Covid, yang menggunakan APD lengkap, hanya menguruk makam setengahnya saja. Terdengar beberapa orang berteriak, “Petugas dibayar kok, pekerjaan tidak diselesaikan”. Untung ada beberapa anggota masyarakat yang mampu menenangkan warga, kemudian prosesi pemakaman dilanjutkan.
Itulah sekelumit kegaduhan dalam pemakaman jenazah suspect terkonfirmasi Covid-19 di Klaten. Ini diakibatkan adanya anggapan bahwa tim relawan pemakaman Covid-19 di Kabupaten Klaten, mendapatkan bayaran atau gaji pemerintah. “Sampai hari ini, tidak ada gaji atau upah untuk relawan pemakaman jenazah Covid-19,” tegas Deni Nurindragani Sekretaris SAR Kabupaten Klaten, ketika ditemui di markasnya, Rabu 31 Maret 2021.
Deni yang didampingi Wakil Komandan Bidang Organisasi Sasongko Agung Wibowo, sebenarnya ketika dikonfirmasi enggan menanggapi. “Sebenarnya kami lebih fokus untuk bekerja dari pada menanggapi isu tersebut. Karena memang kecurigaan, anggapan atau penilaian itu sama sekali tidak benar,“ ungkap Deni di sela-sela kesibukan persiapan tim pemakaman hari itu. Menurutnya menanggapi penilaian seperti itu nanti hanya akan merusak konsentrasi pekerjaan, dan mengganggu ketulusan mereka.
Ditambahkan oleh Agung Sasongko, pemakaman jenazah Covid-19 memang sesuai prosedur yang disusun dan beberapa aspek teknis, hanya dilakukan setengah dari kedalaman liang kubur. “Ini terpaksa dilakukan karena volume aktivitas fisik, cuaca dan sebagainya kedalaman liang kubur. Ini dilakukan karena relawan yang sudah menggunakan Alat Pelinding Diri (APD) lengkap hanya mampu bertahan selama 3 jam, terhitung mulai dari memakai APD sampai sterilisasi setelah selesai pemakaman. “Faktor cuaca, dan aktivitas fisik sangat mempengaruhi. Jika terlalu lama relawan atau pemakai APD bisa mempengaruhi saturasi. Bahkan bisa pingsan, dan itu sudah sering terjadi dan tidak hanya satu kali,“ jelas Agung.
Deni menambahkan pada kondisi panas amat sangat mengganggu saturasi oksigen. Lebih lanjut dijelaskan oleh Deni bahwa tidak benar, relawan mendapatkan upah atau bayaran dari siapa pun termasuk dari pemerintah, rumah sakit atau dari keluarga duka. “Saya jelaskan kembali bahwa pemakaman atau pengurukan liang lahat hanya separo karena pertimbangan utamanya adalah daya tahan relawan yang ber-APD lengkap dan termasuk di dalamnya adalah saturasi oksigen. Pertimbangan lainnya pada tahap itu dipandang sudah aman untuk dilanjutkan oleh keluarga atau warga setempat,“ tuturnya.
Konyolnya, kecurigaan bahwa relawan mendapatkan bayaran atau upah itu, dengan alasan karena relawan menggunakan kendaraan berplat merah. Karena menggunakan kendaraan plat merah maka otomatis mendapatkan anggaran operasional dari pemerintah atau setidaknya untuk biaya bensin. Menepis hal itu Agung menjelaskan bahwa mobil operasional tersebut statesnya dipinjami untuk dipakai. “Jadi istilahnya adalah mobil tersebut adalah BKO dari beberapa lembaga baik pemerintah maupun swasta, tetapi biaya operasionalnya kami yang menanggung,“ ungkapnya.
Biaya operasionalnya diambil dari hibah atau bantuan. Salah satunya Korpri pernah memberi bantuan dana sebesar Rp 30 juta. Selain itu baik ada covid ataupun tidak tetap ada bantuan dari pemerintah untuk operasional SAR. Dana tersebut digunakan untuk operasional secara keseluruhan baik bensin, keperluan lainnya termasuk operasional kantor dan operasi-operasi SAR lainnya.
Sementara APD dan perlengkapan lainnya adalah bantuan dari Dinkes Kabupaten Klaten yang diberikan dalam bentuk barang dan obat. “Jadi tidak benar ada bantuan uang ataupun dana dengan tunai dari pemerintah. Dan, tidak benar jika ada upah, gaji atau kompensasi. Apalagi kabar bahwa ada anggaran untuk relawan sekian per jenazah yang dimakamkan,” tegas Deni serius. (HB. Budiyanto)