TUBAN – Seperti hari-hari biasa, Zaidun (70) pergi ke sawah untuk berladang. Hari itu dia menyirami tanaman jagung di lahan persawahan yang terletak di Desa Margorejo, Parengan, Tuban. Pria yang sudah bertani sejak masih anak-anak ini menuturkan, tanaman jagungnya tersebut berusia sekitar dua bulan sejak ditanam.
Proses bertani jagung dijelaskan Zaidun. Dia memulai dengan menanam biji jagung di lahan yang telah disiapkan. Kemudian disiram dengan air yang sudah dicampuri pupuk. Penyiraman atau penyemprotan dilakukan dua kali selama masa pertumbuhan. Pertama, ketika tanaman berusia 15 hari. Yang kedua saat berusia 40 hari.
Butuh waktu empat bulan, sampai jagung siap dipanen. Ketika terdapat hama yang mengganggu masa pertumbuhan sebelum akhirnya siap dipanen, Zaidun menyemprotkan obat penghilang hama ke tanamannya itu. “Kalau musim kemarau, nggak ada gulma. Gulma itu biasanya kalau pas musim penghujan. Ya, sama. Nanti bisa disemprot pakai obat,” tutur Zaidun pada Kamis, 27 Mei 2021.
Selama ini, air yang digunakan Zaidun untuk menyirami tanaman di lahan sawah yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya, diambil dari rumahnya. Sebab, tidak ada penampungan air/irigasi/pengairan di persawahan Desa Margorejo tersebut. “Ya, mau nggak mau. Soalnya emang nggak ada sumber air,” ujarnya.
Berbeda dengan Pinasih saat ditemui di waktu yang berbeda, Selasa, 25 Mei 2021, dia memiliki sumur di dekat lahan yang saat itu juga ditanami jagung. Dengan begitu, dia memanfaatkan air penampungan yang ada di sumurnya untuk menyirami tanaman jagung.
Namun, memiliki air sumur juga tidak bisa memberi jaminan ketika musim kemarau. “Kalau kemarau, airnya bisa asat. Tetap saja, harus ngangkatin dari rumah,” kata perempuan yang akrab disapa Pin. Selain itu, meski di lahan persawahan bisa dibuat sumur secara mandiri, tetapi dana yang dibutuhkan cukup besar, dan tidak semua petani mampu untuk itu.
Dari lahan seluas 250 meter persegi, Zaidun membutuhkan 10 jerigen berukuran 20 liter untuk menyirami tanaman jagung.
Mulai dari penanaman hingga panen, modal yang dikeluarkan Zaidun terhitung cukup besar. Sembari mengingat-ingat, Zaidun pun merinci biaya yang telah dikeluarkan. Yakni;
• Bibit biji jagung: Rp 70 ribu x 3 pcs = Rp 210 ribu
• Pupuk: Rp 75 ribu x 2 kali = Rp 150 ribu
• Tenaga tanam: Rp 70 ribu x 6 orang = Rp 420 ribu (jika menggunakan tenaga pekerja)
• Tenaga siram: Rp 70 ribu/orang x 2 kali = Rp 150 ribu (jika memakai tenaga pekerja).
Total keseluruhan Rp 930 ribu. Sedangkan, tidak jarang Zaidun mengalami gagal panen karena penyakit maupun hama dan gulma. Selama menanam jagung, hasil panen paling banyak yang diperoleh Zaidun sekitar 8 kwintal. Sedangkan ketika dijual, harga pasarnya sekitar Rp 3.500 – Rp 4000/kg. “Kalau dibilang rugi, ya lebih sering rugi daripada untung,” imbuh Zaidun.
Senada dengan Zaidun, Pin juga mengeluhkan hal serupa. Bahwa biaya produksi jagung tak sebanding dengan hasil yang diperoleh ketika panen. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus bertani, di setiap situasi dan kondisi yang ada.
“Sudah menjadi pekerjaannya. Walaupun nggak untung, ya tetap dijalanin. Kalau dibiarin, tanahnya bisa tandus. Terus, nanti mau makan apa. Yang penting bisa makan, kenyang, kalau panen,” pungkas Pin, perempuan kelahiran Tuban yang kesehariannya bertani. (Septia Annur Rizkia)