Kembang Gadung, Tradisi Slametan Sapi

Warga gelar tradisi kembang gadung (Foto: Wiradesa)

KEBUMEN – Warga Tuaburu, Desa Tanggulangin menggelar tradisi kembang gadung. Tradisi ini rutin diadakan pada Bulan Muharam. “Kembang gadung merupakan tradisi untuk slametan sapi,” kata Kepala Dusun Tuaburu Purwadi kepada wiradesa.co, Minggu, 5 September 2021.

Masyarakat yang mempunyai sapi diminta membuat ingkung, tumpeng serta kupat lepet. Setelah itu, diarak bersama mengelilingi Dusun Tuaburu. Arak-arakan berakhir di lapangan lalu didoakan dilanjut makan bersama. Untuk makan bersama tak kurang terkumpul 235 tumpeng. “Tetapi kembali lagi bagi warga yang tak bisa membuat ingkung disesuaikan dengan kemampuan masing-masing,” sambungnya.

Yang menarik dari acara ini yaitu adanya yel-yel filosofi kembang gadung. Yel-yel tersebut bermakna ketika kita punya sapi, kekurangan tambang karena kebanyakan sapi.

Munculah konsep, kembang gadung lewih lembu kurang gadung. Filosofi tersebut artinya banyak banget sapi, sampai tidak ada tali untuk mengikat sapi tersebut. Berikutnya, kembang gadung kembang gedang lewih lembu kurang kandang artinya banyak banget sapi sampai kurang kandang. Terakhir, kembang gadung kembang lembu akeh ingkung maknanya semakin banyak sapi, semakin banyak juga anakan sapi akan semakin banyak ingkung yang dibuat setiap tahunnya.

Baca Juga:  PAC Fatayat NU Klirong Berbagi Takjil di Bulan Ramadan

Dalam kembang gadung, warga juga membuat gunungan bersama. Gunungan itu berisi hasil bumi yang ada di sekitar wilayah tempat tinggal. Isinya antara lain cabai, pare, sawi, klengkeng, padi, melon, kacang panjang, kangkung, timun suri dan lain sebagainya. Malam hari, gunungan dibawa ke rumah Kepala Dusun Tuaburu sebagai start awal sebelum memulai arak-arakan.

Kembang gadung dimulai dari pukul 19.00 malam sampai sekiranya 22.00. Waktu tersebut sudah secara keseluruhan dimulai dari arak-arakan, tahlilan, ingkungan dan istighotsah bersama. Tujuannya mengungkapkan rasa syukur atas segala rezeki yang telah diberikan oleh Alloh SWT. Harapannya, ternak dan hasil bumi semakin sehat dan melimpah ruah.

Sebenarnya dalam tradisi ini juga dibarengi dengan kegiatan Syukur Ing Pangeran (Suran) dan santunan sehingga bentuk partisipasi dari masyarakat akan semakin maksimal. (Nur Anggraeni)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *