GANG kecil yang terletak di antara dua rumah tembok dengan ukuran cukup besar, mengantarkan ke wilayah perkampungan Ledhok Timoho. Memasuki gang tersebut, para penduduk RT 50/05 Muja Muju, Ledhok Timoho, Kota Yogyakarta tampak sedang melakukan aktivitasnya masing-masing.
Keramahan penduduknya terlihat saat ditanyai keberadaan kediaman Faiz Fakhrudin, salah seorang inisiator Sekolah Gajahwong. Dengan sambutan dan senyum ramah tamahnya, beberapa dari mereka membantu menunjukkan lokasinya. Namun, saat itu, Senin, 22 Februari 2021, di sore hari, Faiz sedang berada di kandang kambing.
Istri Faiz, pemilik rumah yang memiliki bangunan unik, menunjukkan letak kandangnya. Sesampainya di kandang, seseorang yang akrab dipanggil Faiz tersebut terlihat sedang sibuk memberi makan hewan-hewan peliharaan yang ada di dalam kandang, salah satunya ada kambing. Sebab masih sibuk dan ada banyak hal yang harus dikerjakan sebelum matahari terbenam, dia memberikan nomor kontak yang bisa dihubungi untuk membuat janji temu di luar jam kesibukannya.
Rabu, 24 Februari 2021, pukul 19.30 WIB, gang kecil yang diapit oleh bangunan gedong itu agak gelap. Namun, setelah melewati gang, tampak cahaya yang datang dari lampu penerangan rumah milik warga kampung.
Sesampai di gang itu, orang-orang masih terlihat sedang beraktivitas. Mulai dari yang berjualan keliling, hingga melakukan transaksi jual beli di sebuah toko kecil yang terletak di dekat rumah Faiz. Lalu lalang kendaraan warga yang pulang maupun pergi, serta suara anak-anak balita yang sedang merengek dan menangis pun masih terdengar jelas.
Setelah bertemu dengan Faiz, ia pun mengajak berbincang-bincang di depan salah satu bangunan Sekolah Gajahwong.
Kronologi Terbentuknya Kampung Ledhok Timoho
Pria berusia 41 tahun ini menjelaskan tentang latar belakang berdirinya Sekolah Gajahwong yang sudah ada sejak tahun 2009. Berangkat dari keresahan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim Advokasi Arus Bawah (TAABAH). Saat itu, TAABAH merupakan perkumpulan pengamen yang ada di kota Yogyakarta, dan berdiri pada tahun 2000 dengan harapan sebagai wadah bersolidaritas.
Dengan seringnya berkumpul, sharing, hingga diskusi, Faiz mengatakan, pelan-pelan mereka memiliki banyak pengetahuan. Terutama tentang isu-isu kemiskinan masyarakat miskin kota. Mereka juga mulai menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa tidak berpihak pada rakyat miskin kota.
Di dalam perjalanannya, TAABAH mengorganisir sektor masyarakat miskin kota. Mulai dari pengamen, pemulung, pedagang kaki lima, PSK, tukang parkir, dan lain sebagainya. TAABAH juga melakukan gerakan ke bawah, salah satunya ialah pembentukan kampung yang saat ini disebut Ledhok Timoho, atau yang terkenal dengan sebutan kampung pemulung.
Disebut sebagai kampung pemulung, pria kelahiran Wonosobo ini menjelaskan, saat awal pembentukan kampung Ledhok Timoho, TAABAH lebih banyak mengajak pemulung dan pengamen yang tidak punya tempat tinggal. TAABAH pun mengajak mereka semua untuk menempati wilayah tersebut.
Harapannya, agar mereka memiliki hak dasar sebagai warga negara. “Semut punya rumah, hewan-hewan lainnya juga punya rumah, pun dengan manusia juga harus ada tempat tinggal. Akhirnya, kampung ini terbentuk,” tutur Faiz, koordinator Sekolah Gajahwong sedari 2009 hingga 2020.
Saat ini, per Januari 2021, koordinator Sekolah Gajahwong sudah berganti, sebab Faiz merasa harus ada regenerasi untuk keberlangsungan sekolah tersebut. Meskipun profesi para penduduk kampung Ledhok Timoho saat ini sudah beragam, orang-orang masih kerap menyebut kampung tersebut dengan sebutan kampung pemulung.
Dalam perjalanannya, anak-anak mulai lahir, kemudian keresahan-keresahan itu muncul. Apalagi saat itu para orang tua yang tinggal di kampung Ledhok Timoho sering membawa anaknya ketika bekerja. Kalau orang tuanya pemulung, maka anaknya akan dibawa ikut mulung. Ketika orang tuanya ngamen, maka anaknya juga akan ikut dibawa ke jalan, dan begitu seterusnya.
TAABAH pun terus berupaya untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat miskin kota. Namun menurut Faiz, permasalahan kemiskinan dari dulu sampai saat ini masih sama dan belum tertuntaskan.
Usai melalui diskusi yang cukup alot, kemudian mereka memutuskan untuk menyelamatkan anak-anaknya terlebih dahulu. Solusinya ialah dengan bersekolah.
Latar Belakang Terbentuknya Sekolah Gajahwong
Kendala masyarakat miskin kota saat itu ialah tidak adanya identitas. Mereka tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal itulah yang menghambat anak-anak bisa masuk sekolah formal. Akhirnya, TAABAH berinisiatif membuat sekolah sendiri yang bertujuan untuk memberikan ruang bermain dan belajar bagi anak-anak masyarakat miskin kota saat itu.
Masyarakat miskin kota ialah masyarakat urban. Yang datang dari mana pun, pergi ke kota untuk mengadu nasib. Namun ternyata, Faiz menerangkan, sesampai di kota nasibnya tidak seperti yang diharapkan. Mereka harus bekerja di sektor infornal yang paling bawah untuk tetap bisa bertahan hidup. Dari menjadi pengamen, pemulung, PSK, atau bahkan copet.
Dalam waktu lama, akhirnya mereka kehilangan aset yang ada di daerah asal. Ada pula yang sudah tidak punya kerabat di tempat kelahirannya. Walhasil, mereka pun harus bertahan di tanah perantauan dan beranak pinak.
Mulai dari urusan memperoleh pekerjaan layak, menikah, hingga ketika sudah punya anak, semua itu sempat terkendala karena tidak adanya identitas. Termasuk tidak bisa membuat akta kelahiran. Sehingga, anak-anak yang dilahirkan dari mereka pun tidak bisa mendaftar di sekolah formal. Maka, dibangunnya Sekolah Gajahwong ialah untuk memecahkan persoalan tersebut.
Isu yang diangkat ialah isu anak. Pada awal pembentukannya, para inisiator Sekolah Gajahwong memperoleh murid dengan berupaya menjemput anak-anak jalanan maupun pinggiran yang tidak bersekolah. Saat itu, Sekolah Gajahwong hanya memiliki satu kelas. Seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi 2 kelas. Dua tahun kemudian, berubah menjadi 4 kelas.
Sistem pengajarannya di tahun 2009-2013, Sekolah Gajahwong masih menggunakan tenaga pengajar dari para relawan. Setelah melalui evalusi yang panjang, ternyata proses belajar mengajar dengan hanya mengandalkan tenaga didik dari relawan, hasilnya tidak optimal. Sebab para relawan yang mayoritas berlatar belakang mahasiswa juga memiliki banyak kesibukan, terutama di kampusnya.
Sedangkan, Sekolah Gajahwong membutuhkan guru pengajar yang profesional dan memiliki komitmen terhadap proses pembelajaran dari awal hingga akhir semester. Akhirnya, guru pengajar utama didatangkan dari tenaga profesional.
Sekolah Gajahwong Saat Ini
Saat ini, sebagaimana yang dituturkan oleh Faiz, koordinator Sekolah Gajahwong periode 2009-2020, Sekolah Gajahwong memiliki 40 murid. Selain berasal dari kampung Ledhok Timoho, murid-murid tersebut juga ada yang dari kampung lainnya, baik sebelah kanan dan kirinya pinggiran sungai Gajahwong, maupun warga pinggiran lainnya yang bersedia bergabung untuk belajar bersama.
Terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas akar untuk anak usia 3-5 tahun, kelas rumput untuk anak usia 5-7 tahun, kelas ranting untuk anak usia 7-10 tahun, dan kelas batang untuk anak usia 10-15 tahun. Meskipun Sekolah Gajahwong gratis sehingga bisa diakses oleh kalangan ekonomi bawah, guru pengajarnya tetap dipekerjakan secara profesional. Dalam artian mereka memperoleh gaji di setiap bulannya. Saat ini, tercatat ada 7 tenaga pengajar.
Harapan Faiz, sekolah tersebut bisa berkembang lagi menjadi 6 sampai 8 kelas. “ Ya, sesuai idealnya saat ini,” terangnya. Menurutnya, semakin banyaknya kelas akan semakin fokus. Sehingga bisa menerapkan kurikulum secara mendalam. Termasuk semakin fokus terhadap indikator perkembangan yang dicapai.
Namun dalam perjalanannya, menyiapkan satu kelas pun memerlukan banyak persiapan, tenaga, dan juga pikiran. Mulai dari ruangannya, sarana prasarana, guru, gaji guru, dan lain-lain. Semua itu harus jelas sumbernya. “Karena jangan sampai kelas itu tutup. Enggak ada ruang atau anggaran. Kita juga berani buka kelas itu kalau sumbernya sudah jelas dan pasti. Itu kita akan berani buka satu kelas lagi,” jelas pria kelahiran Wonosobo tersebut.
Saat ini, Sekolah Gajahwong memiliki 2 bangunan dengan 4 ruangan. Untuk menghidupi sekolah, terutama menggaji guru, Sekolah Gajahwong memiliki beberapa program. Yaitu ada bank sampah, yang selain sebagai media pembelajaran juga bisa mereka jual. Mereka memperoleh sampah dari para donator. Mulai dari perkantoran, rumah tangga, hotel, dan pihak mana pun yang bersedia mendonorkan sampahnya.
Namun, semenjak adanya pandemi Covid-19, sampah yang mereka peroleh menjadi turun hingga 90%. Padahal, sampah merupakan kebutuhan pokok sekolah tersebut karena semua media pembelajaran menggunakan sampah atau bahan-bahan bekas.
Kedua berasal dari ternak kambing. Ketiga, ada koperasi yang menyediakan sembako. Namun karena Covid-19, koperasi pun ditutup dan belum buka kembali hingga saat berita ini diterbitkan. Ketiga ada divisi media dan fasilitasi yang mengelola mahasiswa yang hendak magang, skripsi, kunjungan, dimintai jadi narasumber, pendamping LSM, dan lain-lain.
Keempat, dengan membuka bazar. Yaitu berjualan merchandise dan makanan olahan. Kelima, jualan online. Keenam, terkadang dari donasi.
Selama Covid-19, Sekolah Gajahwong menggunakan metode visit. Yaitu gurunya berkunjung ke rumah-rumah murid. Metode ini sudah berlangsung selama 3-4 bulan, sebab tidak semua orang tua murid memiliki elektronik yang mendukung pembelajaran secara online.
Namun, semenjak 4 bulan terakhir, mulai dibuatkan kelompok kecil yang terdiri dari 3-4 anak yang rumahnya berdekatan. Tiap kelompok tersebut akan dikunjungi gurunya dua kali dalam seminggu.
Sekolah Gajahwong juga turut mendorong para muridnya yang berusia sekolah menengah pertama untuk bisa masuk sekolah formal. Untuk persoalan biaya, mereka mengupayakan agar murid-murid, terutama yang ada di kelas batang bisa masuk sekolah negeri demi meminimalisir biaya. Atau berusaha mencarikan orang tua asuh.
Ketika ada murid dari kelas batang sudah masuk sekolah formal, mereka tetap diperbolehkan terlibat belajar di kelas batang. “Karena kan kita sendiri merasa, terutama kelas batang, belum layak untuk full hanya di sini aja,” papar pria kelahiran 1979 tersebut..
Tidak adanya surat perijinan diri pemerintah setempat, menjadikan Sekolah Gajahwong tidak tercatat di Dinas Pendidikan. Maka, hal tersebut mengharuskan murid-muridnya yang hendak melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama harus melakukan ujian kejar paket terlebih dahulu.
Sebenarnya, menurut penuturan dari Faiz, mereka sudah empat kali datang ke Dinas Pendidikan untuk mengurus perijinan sekolah. Namun, mereka masih belum mendapatkan legalitas karena lokasinya yang berada di bantaran sungai dan status tanah.
Padahal, harapan para pendiri Sekolah Gajahwong, dengan adanya perijinan dari birokrasi akan membantu mereka untuk bisa mengakses program Biaya Operasional Sekolah (BOS). “Tapi emang kami mentok di pasal tempat dan kedudukan,” lanjutnya sambil sesekali menghisap sebatang rokok yang ada di tangannya.
Di dalam penyusunan kurikulumnya, pihak Sekolah Gajahwong sangat serius dan sungguh-sungguh. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya pihak luar yang tertarik meneliti kurikulum Sekolah Gajahwong. Tidak hanya dari para akademisi dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Mulai dari Australia, Belanda, Jepang, Korea, Malaysia, dan beberapa negara dari Asia Pasifik lainnya.
“Karena kan kita punya visi yang besar. Meskipun sekolah ini gratis, terletak di pinggir kali dengan bangunan seadanya, tapi kita nggak mau sekolah ini seadanya. Kita ingin sekolah ini menjadi sekolah yang bagus, berkualitas, dan digarap dengan sungguh-sungguh. Kurikulumnya bener-bener diuji terus,” ungkap Faiz, bapak dari dua anak tersebut.
Saat ini, Sekolah Gajahwong juga memiliki beberapa relawan yang turut membantu. Namun, proses perekrutan yang dilakukan menjadi lebih ketat dan selektif. “Ini sudah 4 tahunan, kita buka relawan setahun hanya 2 kali. Jadi setiap awal semester, dan relawan itu harus tanda tangan MoU. Minimal satu semester menjadi relawan. Jadi enggak boleh sebentar. Enggak masalah seminggu sekali, tapi komitmennya harus jelas. Pasti ada apresiasi juga buatnya,” pungkas Faiz sebelum menutup obrolan panjangnya. (Septia Annur Rizkia)