YOGYAKARTA – Sebelum sampai kebun Tanem Tuwuh yang berada di Jl Magelang, RW 13, Karangwaru Kidul, Tegalrejo, Yogyakarta, usai masuk ke gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Area Budidaya Pertanian Perkotaan Tanem Tuwuh”, mata yang melihat akan disuguhkan dengan pemandangan hijau. Terutama lorong-lorong di sepanjang jalan yang mengantarkan ke perkebunan maupun pemukiman warga, dikelilingi dengan aneka tanaman.
Hasil kolaborasi Kelompok Wanita Tani (KWT) Tanem Tuwuh dengan para bapak setempat, mampu menghidupkan kampung dengan aneka ragam tanaman. Berkat kerja sama dan gotong-royong warga, komitmen menanam dan merawat mampu terjaga sampai saat ini, terhitung dari 2018.
Ragam budidaya Tanem Tuwuh telah berhasil menarik perhatian banyak kalangan, tak terkecuali para awak media. Hal tersebut diutarakan oleh Oktorini, salah seorang anggota KWT Tanem Tuwuh.
Ditemui pada Senin, 5 April, 2021, Sujono, salah seorang warga Karangwaru Kidul yang turut andil dalam penataan kebun dan lorong Tanem Tuwuh mengatakan, untuk pihak yang bertanggung jawab di kampung tersebut ialah, Ketua RW, Iskhak Hasyim Rosidi. Sedangkan Sukirman, selaku penasihat budidaya pertanian urban farming di kampung tersebut.
Para perempuan yang saat ini tergabung dalam KWT Tanem Tuwuh merupakan pencetus terbentuknya lahan perkebunan. Tak hanya itu, menurut penuturan Sujono, terkait tanaman di kebun, para perempuan itulah yang lebih mengetahui seluk-beluknya.
Sebab mengutamakan kebersamaan dan gotong-royong, para pria warga setempat juga turut andil, terutama ketika para perempuan KWT membutuhkan media tanam serta dalam hal penataan ruang.
Membenarkan ucapan Oktorini, Sujono mengatakan, ia yang biasanya menata tempat, dibantu dengan bapak-bapak yang lain. Terutama yang dari lorong mulai dari gazebo, sampai masuk ke dalam perkampungan.
Seluk-beluk Tanem Tuwuh
Berangkat dari keresahan para warga karena adanya lahan tidur yang tak terpakai dan dipenuhi semak belukar yang tak nyaman dipandang, menurut Parjiyati Ketua KWT Tanem Tuwuh, para ibu mulai berinisiatif membersihkan lahan tersebut untuk ditanami.
Sujono, suami Parjiyati menambahkan, dulunya, lahan tersebut juga tempat pembuangan bongkahan bangunan. “Jadi bawahnya itu bukan tanah pada umumnya, tetapi bongkahan sampah. Paling banyak ya beton-beton. Tanahnya terbilang tandus dan nggak subur,” terangnya.
Para warga bekerja sama untuk meratakan tanah. “Kan batu semua tuh, di dalamnya. Makanya, kalau digali, baru 20 cm, mentok sudah batu,” tutur Sujono.
Sebagai upaya memanfaatkan lahan kosong, para warga meminta izin ke pemilik tanah dan diizinkan. Berkat kreativitas para warga, selama hampir tiga tahun, Tanem Tuwuh sering diikutkan lomba dan beberapa kali berhasil memperoleh penghargaan.
Modal awal, mereka dapatkan dari swadaya warga. Mereka saling bahu-membahu. Seiring berjalannya waktu, pemerintah setempat turut membantu biaya akomodasi Tanem Tuwuh. Meskipun begitu, sampai saat ini juga masih ada warga yang dengan suka rela menjadi pendonor Tanem Tuwuh.
Tanaman Tanem Tuwuh
Sedari awal, mereka memilih benih yang disemai menjadi bibit, baru kemudian dipindahkan ke polybag maupun pot. Mulanya mereka membuat benih sendiri dari biji tanaman yang dikeringkan. Namun, karena tenaga mulai tidak memungkinkan, mereka memilih membeli benih sachet untuk disemai.
Tanaman yang mereka tanam, mayoritas sayuran dan obat-obatan herbal. “Tanaman di sini nggak pakai musiman. Tanaman apa pun yang bisa tumbuh subur, ya kami tanam saja. Tiap kali panen, ya kita tanam lagi,” jelas Parjiyati.
Perawatan Tanaman
Sampai sejauh ini, tanaman yang mereka tanam bisa tumbuh subur karena diberikan perawatan rutin. Mulai dari penyiraman sampai pada pemberian nutrisi.
Oktorini, yang kerap merawat tumbuh kembang tanaman di kebun mengatakan, untuk penyiraman, bisa dua kali dalam sehari. “Itu kalau lagi nggak hujan,” tuturnya.
Untuk nutrisi, Oktorini sering menggunakan pupuk NPK dan pupuk kandang. “Lebih sering pakai pupuk kandang, NPK-nya jarang-jarang,” lanjutnya kemudian.
Covid mempengaruhi aktivitas warga. Dulunya, mereka menjadwalkan piket menyiram dalam sehari bisa 3-4 orang yang bertugas. Untuk saat ini, jumlah orangnya mulai berkurang. Sedangkan tanaman yang berada di sepanjang lorong, dijaga dan dirawat oleh warga yang rumahnya dekat dengan lokasi tersebut.
Hasil Perkebunan
Tanaman yang sudah panen dijual ke warga setempat. Oktorini, Parjiyati, dan Sujono, dengan kompak mereka mengatakan, sebelum dijajakan ke luar kampung, sayuran mereka selalu habis dibeli warga kampung setempat. Setahun yang lalu, mereka juga membudidayakan ikan lele dan nila, kemudian diperjualbelikan ke warga yang berminat.
Inisiatif Menjadikan Kampung Lorong Anggur
Ketiga warga yang saat itu ditemui Wiradesa.co mengaku, tujuan awal warga ialah membuat desa wisata Kampung Lorong Anggur. Meskipun pohon anggur yang mereka tanam di sepanjang lorong kampung belum tumbuh secara maksimal, upaya-upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut akan terus mereka usahakan. Selain anggur, ada tanaman-tanaman langka yang mereka budidayakan di setiap lorong.
Berangkat dari kemauan dan kesenangan, warga dengan kesadaran masing-masing, berkomitmen untuk terus menanam dan merawat tanaman. “Yang jelas karena pada punya kemauan, senang dengan tanaman, dan punya waktu longgar,” ucap Sujono. Selain itu juga membuat lingkungan menjadi sejuk dan asri, serta menambah oksigen sehat untuk kehidupan manusia.
Tambah Parjiyati, dengan adanya kebun di kampung, membuat mereka jadi lebih sering berkumpul untuk sekadar berbincang-bincang maupun memasak bersama. Tak terbatas usia, mulai dari balita sampai lansia, kebun tersebut kerap menjadi titik kebersamaan guyub rukun warga.
Di sela-sela obrolan, mereka juga mengaku kalau warga setempat tidak ada yang berlatar belakang petani. Meskipun demikian, kelihaian mereka dalam persoalan tanam-menaman tak diragukan lagi. Hal itu terbukti dengan aneka tanaman hijau yang menyelimuti kebun serta lorong-lorong di gang rumah warga setempat.
Dan, harapan mereka masih sama, yaitu menjadikan kampung mereka sebagai desa wisata dan sarana edukasi. (Septia Annur Rizkia)