KULONPROGO – Angkutan umum jalur Terminal Wates Kulonprogo menuju Terminal Umbulharjo kemudian beralih ke Giwangan Yogya, pada masa jaya era 1985-2000 trayek diramaikan sekitar 200 minibus engkel campur antara minibus satu pintu dan dua pintu. Saking padatnya jalur kala itu, jarak antarkendaraan angkutan penumpang hanya ada jeda sekitar dua menit.
Berganti masa, hari-hari ini angkutan umum Wates Yogya tinggal belasan unit minibus yang tersisa. Itu pun hanya beroperasi setengah hari. Mayoritas pelanggan dari para pedagang pasar.
Salah satu pengemudi minibus trayek Wates-Yogya yang masih bertahan nyopir hingga sekarang Senen Niti Utomo mengatakan, sehari-hari ia berangkat pukul 03.30, mengemudikan minibus kapasitas 16 penumpang. Dari rumah di Padukuhan Karangwetan Salamrejo Sentolo langsung menjemput pelanggan pedagang pasar di Mertan Sukoreno. Selama perjalanan menuju Yogya para pelanggan sudah menunggu minibus ‘Pasir Luhur’ yang dikemudikan Senen pada waktu dan titik jemput ajek.Trayek perdana menembus gelap jelang waktu Subuh, ia dibantu seorang kernet menurunkan penumpang dan barang dagangan sejumlah pasar. Pasar Gamping, Pasar Beringharjo, Pasar Pasar Satwa dan Tanaman Hias (Pasty).
“Selesai semua penumpang dan barang line perdana turun, langsung balik membawa pedagang yang kulakan barang kebutuhan ke pasar waktu malam seperti pedagang bakso dan mie ayam. Rute dari arah Yogya menuju Terminal Wates. Sekitar pukul 06.00 balik dari Terminal Wates ke Giwangan. Penumpang pegawai, dan orang yang mau kerja umumnya,” terang Senen kepada wiradesa.co, Kamis 7 September 2023.
Trip dari Terminal Wates menuju Terminal Giwangan selain membawa penumpang para pegawai kantoran yang masuk pagi juga melayani pelajar dengan rute jarak dekat. Balik dari Giwangan, biasanya sudah santai. Mencari penumpang sedapatnya sembari pulang garasi di Sentolo.
Meski hanya sekitar setengah hari, Senen bekerja nyopir saban hari bila tak ada kegiatan lain atau carteran. Lelaki kelahiran 1955 menuturkan, bila ada acara hajatan atau acara lain yang mengharuskannya libur nyopir maka ia akan memberitahu ke para pelanggan agar perjalanan mereka ke pasar digantikan minibus lain.
Suyono pemilik minibus engkel ‘Pasir Luhur’ yang dikemudikan Senen menuturkan, relasi yang terjalin antara sopir dengan penumpang yang telah menjadi pelanggan tetap relatif akrab bahkan seperti saudara. Sampai-sampai manakala salah satu diantara penumpang punya hajatan mantu, Senen kerap diundang dan kondangan. “Apabila ada yang punya hajatan akan saling mengundang. Karena komunikasi antara sopir dan pelanggan terjalin sangat baik,” tukas Suyono.
Minibus ‘Pasir Luhur’ milik Suyono tinggal satu unit dari sebelumnya tiga unit. Tarif angkutan mengikuti bus besar. Penumpang umum Wates-Yogya kena tarif Rp 20 ribu. Pegawai Rp 15 ribu. Pelajar jauh dekat Rp 3 ribu. Namun, terkadang pelajar yang tidak tega biasanya memberi lebih Rp 5 ribu atau Rp 7 ribu.
Menurut Senen, penumpang anak sekolahan sudah jarang. Kebanyakan kos atau ke sekolah menunggangi sepeda motor. Dari perjalanan setengah hari, pembagian pemasukan Rp 150 ribu dialokasikan buat bahan bakar solar. Rp 50 ribu buat sopir dan antara Rp 100-150 ribu disetorkan kepada pemilik minibus. Sebagian lagi jatah buat kernet.
“Perawatan rutin dua bulanan ganti oli. Karena pakai mobil tua Mitsubishi 100 Ps keluaran 1983 mesin sudah jarang digeber ngebut. Bahkan belum lama tepatnya pada Agustus ini harus overhoul mesin habis dana Rp 12 juta. Paling perawatan berikutnya ganti ring sekher empat-lima tahun lagi,” ujar Suyono.
Senen berkisah, ia mulai nyopir sejak 1978 mulai mengemudi truk. Kemudian 1983 beralih nyopir minibus engkel jalur Wates Yogya pulang pergi hingga sekarang.
“Dulu zaman ramai, sekitar 1983-2000 sehari bisa jalan empat tangkep (perjalanan pulang pergi-red). Sekarang karena unit di jalur yang sama sudah banyak yang nggak beroperasi maka jalan cuma setengah hari. Yang siang sampai sore penumpang diambil mobil milik orang lain. Biar sama-sama kebagian rezeki,” pungkasnya. (Sukron)