Kolom  

Pemuda Desa menjadi Petani Modern, Kenapa tidak?

Ilustrasi pemuda desa manfaatkan teknologi pertanian modern. (Foto: Helvetas)

PETANI di Indonesia masih didominasi oleh kalangan “orang tua”. Sangat sedikit petani yang berasal dari kalangan anak muda. Pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sebanyak 71 persen petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas. Hanya 29 persen petani yang berasal dari kalangan anak muda atau berusia di bawah 45 tahun.

Sebelumnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan pada tahun 2017 merilis hasil survei yang memperlihatkan bahwa Indonesia terancam krisis petani. Pasalnya, sebagian besar petani nasional berusia 45 tahun ke atas.

Hasil survei tersebut mencatat bahwa rata-rata usia petani padi di tiga desa yang berada di Jawa Tengah mencapai 52 tahun. Bahkan, pemuda desa yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga hanya berjumlah sekitar tiga persen (LIPI, 2017).

Menurut Dosen Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wahono, ada beberapa faktor yang menyebabkan kalangan muda kurang minat pada dunia pertanian. Salah satunya, banyak kalangan muda beranggapan bahwa petani adalah pekerjaan tradisional (tidak keren). Begitu pun dari segi ekonomi, petani dianggap sebagai pekerjaan yang kurang menguntungkan dan tidak menjanjikan kesejahteraan (Republika, 2021).

Baca Juga:  Tak Lagi Sewakan Tanah ke Perusahaan, Rohana Tanam Sayur-mayur

Sementara Yogaprasta A. Nugraha dan Rina Herawati menyebutkan tiga faktor yang menyebabkan bidang pertanian kurang dilirik oleh kalangan anak muda. Ketiga faktor tersebut, antara lain: sistem pendidikan, terbatasnya akses anak muda terhadap lahan, dan pengabaian dari pembuat kebijakan (Antara, 2022).

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan kita hari ini masih menanamkan ide atau pandangan bahwa bertani itu bukan profesi yang menarik. Akhirnya, bertani menjadi profesi yang mulai dilupakan, karena sedikit yang bercita-cita untuk menjadi petani.

Lahan pertanian hanya dikuasai oleh segelintir orang yang menyebabkan anak muda menjadi terbatas dalam mengaksesnya. Ditambah lagi pembuat kebijakan kadang-kadang juga mengabaikan sektor pertanian skala kecil dan infrastruktur pedesaan di sejumlah wilayah. Padahal jika kita flashback, pada zaman Hindia Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles, desa merupakan jantung negara karena dijadikan pusat ekonomi (History of Java, 2019).

Sejauh ini, tampak juga pembangunan terpusat di kota-kota besar. Tentunya pembangunan industrialisasi non pertanian yang berkembang begitu pesat. Akibatnya, banyak di antara anak muda lebih memilih pergi ke kota-kota besar. Mereka merantau dengan harapan mendapatkan pekerjaan lebih layak. Pekerjaan yang menjanjikan pendapatan lebih besar daripada menggarap lahan pertanian di desa.

Baca Juga:  Hari Kebebasan Pers Sedunia: Merayakan Jurnalisme Independen

Menurut Sosiolog asal Jerman, Karl Marx, orang desa meninggalkan lahan pertanian untuk menjadi buruh pabrik. Mereka akan banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di bawah tekanan pemilik perusahaan. Sedangkan upah/gaji yang didapatkan bisa dikatakan tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarkan (IndoProgress, 2016).

Dari tahun ke tahun sumber daya manusia (SDM) yang menekuni profesi di bidang pertanian menyusut. Hal ini juga beriringan dengan menyusutnya luas lahan pertanian di Indonesia. Bisa dilihat, pada tahun 2015-2018 terjadi penurunan baik jumlah petani maupun luas lahan pertanian (Umkendari, 2020). Lantas, bagaimana solusinya supaya kita tidak kehabisan stok petani?

Menurut hemat penulis, para pemuda saat ini sebaiknya tidak meninggalkan kampung halaman mereka. Selayaknya mereka tinggal di desa kelahiran dengan memanfaatkan lahan yang ada (menggarap lahan pertanian). Jadilah pemuda keren dengan meningkatkan inovasi teknologi di bidang pertanian.

Pemuda desa bisa melakukan transformasi bidang pertanian, seperti menggunakan peralatan-peralatan modern dengan dukungan teknologi digital. Transformasi ini dilakukan mulai dari alat produksi, operasional, sampai pada penjualan. Khusus penjualan, saat ini bisa memanfaatkan pasar digital, sehingga menjangkau pasar ke luar daerah, bahkan pasar global.

Baca Juga:  Petani Karangsewu Pilih Tanam Kedelai

Ada banyak contoh petani modern yang berhasil, salah satunya Pulung Widi Handoko. Pemuda asal Magelang, Jawa Tengah ini berhasil melakukan inovasi pada pertanian cabai. Dia menerapkan berbagai teknologi untuk menghasilkan produksi yang maksimal dengan modal yang minim. Alhasil, pemuda yang masih berusia 25 tahun ini meraup untung sebesar Rp70 juta setiap kali petik cabai (Tabloid Sinar Tani, 2022).

Contoh lainnya adalah Dede Koswara, petani muda asal Bandung. Pria berusia 32 tahun itu berhasil menjual 20 sampai 40 ton labu acar ke pasar-pasar di berbagai daerah. Omzet yang didapatkan berkisar Rp1,5 miliar per bulan (Demfarm, 2022).

Berdasarkan dua contoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa profesi petani bukan aib. Bertani itu keren, tidak kalah menarik dari profesi-profesi lain. Jika lahan pertanian dikelola secara baik, disertai dengan inovasi teknologi, dan dipasarkan melalui platform media digital, maka hasilnya sangat menggiurkan. Apabila pemuda desa melihat potensi ini, maka ke depannya kita tidak perlu khawatir terhadap krisis petani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *