Wiradesa.co – Desa Wisata Mandiri Pangan (Dewi Mapan) Ketingan, Tirtoadi, Nlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, membudidayakan Maggot. Usaha pemeliharaan Maggot, sejenis belatung ini memiliki prospek bisnis yang bagus. Pasarnya terbuka besar, tetapi produksinya terbatas masih sedikit.
Sudah sebulan ini, Dewi Mapan membangun beberapa tempat untuk budidaya Maggot. Tempat telur dan indukan dibangun di dekat kebun sayur hidrophonik. Sedangkan tempat pembesaran atau produksi Maggot dibangun di dekat kandang sapi. Tempat produksi ini cukup bagus dan permanen, terdiri dari beberapa kotak dengan ukuran 2 meter kali 50 meter.
Sebelum membudidayakan Maggot, Dewi Mapan lebih dulu mengupayakan kebun sayur dengan sistem hidrophonik. Atas tanaman berbagai jenis sayuran, mulai dari sawi, seledri, bayam, kangkung, pagoda, dan lainnya, bawah untuk ternak lele. Pola pertanian terpadu ini setiap bulan bisa panen sayur dan lele.
Tempat produksi Maggot dibuat terkotak-kotak dengan bangunan beton. Setiap kotak berukuran 2 meter kali 50 meter. Diperkirakan setiap kotak akan menghasilkan 1 ton Maggot. Pakan Maggot didapatkan dari limbah penyamaan kulit Budi Makmur Jaya Murni pimpinan Ibu Mintorowati.
Perhitungan bisnisnya cukup menggiurkan. Harga Maggot sekitar Rp6.000 sampai Rp9.000 per kilogram. Untuk Maggot kering harganya Rp60.000 sampai Rp100.000 per kilogram, Maggot tepung Rp130.000 per kilogram, dan minyak Maggot harganya Rp270.000 per liter. Jika setiap hari bisa menghasilkan 1 ton Maggot. Maka penghasilan dari Maggot saja setiap hari Rp6 juta, setiap bulan Rp180 juta.
Warga Ketingan yang dimotori Mardiarto dan Subianto menegaskan tekat bersama bersepakat dan berbuat untuk dusunnya. Mereka mendirikan Desa Wisata Mandiri Pangan (Dewi Mapan) untuk mengatasi pengangguran akibat wabah COVID-19 dan tergusurnya lahan pertanian akibat pembangunan jalan tol.
Mardiarto, pemrakarsa Dewi Mapan, mengemukakan akibat COVID-19 kini banyak pengangguran di dusunnya Dusun Ketingan, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keprihatinan itu masih ditambah dengan banyaknya lahan pertanian yang tergusur untuk pembangunan jalan tol Yogyakarta-Solo.
“Untuk mengatasi persoalan pengangguran, kami sepakat untuk berusaha bersama di bidang perkebunan, perikanan, peternakan, dan membuka pasar sendiri dari hasil usaha bersama,” ujar Mardiarto saat menerima dukungan dari TO Suprapto (Joglo Tani), Ibu Mintorowati (Budi Makmur Jaya Murni), dan Agustinus Heri Sutantyo (STIE Mitra Indonesia) di Ketingan, Rabu (12/8/2020).
Usaha bersama Dewi Mapan menarik untuk diperhatikan, karena tidak lazim atau biasa dilakukan oleh para petani kebanyakan. Misalnya di bidang perkebunan, Dewi Mapan menerapkan sistem berkebun dengan hidrophonik. Kemudian perikanannya, memanfaatkan air buangan dari hidrophonik. Sedangkan peternakannya, selain ternak ayam dan sapi, juga membudidayakan Maggot, semacam belatung yang selama ini dianggap tidak ada nilai ekonomisnya bagi warga Ketingan.
Semua usaha pertanian terpadu Dewi Mapan tersebut tidak memerlukan lahan yang luas. Karena dengan sistem yang dikembangkan Joglo Tani, Budi Makmur, dan STIE Mitra Indonesia, pertanian terpadu tidak perlu lahan yang luas. Dengan lahan sekitar 200 m2 saja sudah bisa untuk menanam sayur, ternak lele, dan budidaya Maggot.
Untuk memotivasi warga, Dewi Mapan telah menjalankan atau mengawali usaha pertanian terpadu. Dengan sistem hidrophonik, lahan terbatas bisa untuk menanam sayur-sayuran mulai dari sawi, seledri, bayam, kangkung, pagoda, dan lainnya. Misalnya dengan lahan 1,5 m kali 6 meter atau 9 m2 saja sudah bisa untuk menanam 270 sayuran (lobang) dan 6 kolam lele (buis beton).
Lahan 9 m2 dipasang 7 pipa dengan 270 lobang. Lobang-lobang ini ditanami berbagai tanaman sayuran, mulai dari sawi, bayam, pagoda, kangkung, seledri, dan lainnya. Kemudian di bawahnya diletakkan 6 buis beton untuk ternak lele. Setiap buis beton dengan diameter 80 cm diisi 300 lele. “Setiap 30 hari, kita panen sayur dan lele,” ujar Mardiarto.
Pendiri Joglo Tani, TO Suprapto, sangat mendukung upaya warga Ketingan untuk mandiri pangan. Menurutnya ada tiga tahapan soal pangan, pertama ketahanan pangan, kedua kemandirian pangan, dan ketiga kedaulatan pangan. “Kalau ketahanan pangan itu tersedia pangan, entah dari mana pangan tersebut,” ujar TO Suprapto. Sedangkan kemandirian pangan itu masyarakat bisa memenuhi pangannya sendiri. Makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan. Kedaulatan pangan itu menanam dengan bibit sendiri, pupuk sendiri, dan mampu juga menciptakan pasar sendiri.
Sedangkan Agustinus Heri Sutantyo dari STIE Mitra Indonesia mengungkapkan pasar Maggot sangat terbuka dan banyak. Permintaan sangat banyak, tetapi produksinya masih terbatas atau sedikit. “Jadi upaya budidaya Maggot oleh Dewi Mapan sangat prospektif dengan masa depan yang cerah dari sisi bisnis. Selain itu juga baik untuk pemberdayaan masyarakat, karena setiap rumah bisa membudidayakan Maggot sendiri,” papar Agustinus Heri Sutantyo, CEO & Founder Mitra Desa Indonesia.
Pada kesempatan kunjungan lapangan, Ibu Min, pengusaha penyamaan kulit Budi Makmur Jaya Murni sudah madep mantep untuk menyalurkan limbahnya ke Dewi Mapan. Limbah dari sesetan kulit ternak, terdapat sisa daging, gajih, dan bulu sangat cocok untuk pakan Maggot. Budi Makmur bersama STIE Mitra Indonesia sudah melakukan uji coba, hasilnya dengan pakan limbah kulit, pertumbuhan Maggot cepat besar. “Melihat kesiapan lahan dan SDM, kami sudah madep mantep menyalurkan limbah kulit ke Dewi Mapan Ketingan,” tegas Ibu Min.
Usaha bersama Dewi Mapan untuk mengatasi pengangguran di dusunnya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Semoga contoh usaha yang dilakukan Mardiarto dan kawan-kawan menjadi contoh bagi warga sekitar. Diharapkan warga juga melaksanakan sendiri menanam sayuran dan beternak lele dengan sistem hidrophonik serta budidaya Maggot. Dewi Mapan siap untuk menampung dan menjualnya di pasar yang sudah dirancang bersama. (Ono)