TUBAN – Dari seberang lahan yang ditanami jagung, terlihat seorang pria yang sedang sibuk dengan tanaman kangkungnya. Saat ditemui pada Selasa, 25 Mei 2021 di persawahan Desa Margorejo, Parengan, Tuban, Iwan Prasetyo (40) membuka obrolan tentang kangkung yang saat itu sedang disulami akibat kehujanan di malam harinya.
Pada umumnya, kangkung merupakan tanaman yang mudah hidup ketika ditanam. Selain itu, tanaman kangkung juga tidak memerlukan lahan yang luas. Beberapa pihak yang melakukan urban farming di lahan terbatas, bisa menggunakan teknik hidroponik, aquaponik, maupun menggunakan media pot atau polybag.
Berbeda dengan sebelumnya, pria yang akrab disapa Pras ini mengatakan, kangkung yang ia tanam di lahan persawahan dengan luas 8×50 meter persegi bernilai ekonomi tinggi. Biasanya, bagian kangkung yang diperjualbelikan ialah batang beserta daunnya untuk pemenuhan kebutuhan sayuran.
Kali ini, lahan yang dulunya ditanami jagung ketika musim kemarau, oleh Pras diganti dengan tanaman kangkung, karena dirasa bernilai ekonomi lebih tinggi. Pria kelahiran Tuban yang selain bertani juga berprofesi sebagai sopir kendaraan beroda empat menjelaskan, yang laku dijual dengan harga cukup tinggi dari kangkung terletak di bagian buahnya.
Pras mengaku, dirinya juga baru pertama kali mulai membudidayakan kangkung sekitar tiga minggu yang lalu. Meski begitu, ia yakin dan optimis kalau tanamannya bisa tumbuh baik seperti yang telah dilakukan petani lainnya.
Jika ditaksir secara ekonomi, kata Pras, hasilnya cukup menggiurkan. Ketika dijual dalam bentuk sayuran, seikatnya dihargai sekitar Rp 500- Rp 1000. Sedangkan jika buahnya, 1 kg bisa mencapai Rp 18 ribu – Rp 19 ribu. “Yang jelas, dari pengalaman orang-orang, hasilnya 2-3 kali lipat dari jagung,” tutur Pras.
Senada dengan Pras, Sanusi (56) saat ditemui di lahan persawahannya pada Rabu, 26 Mei 2021 juga menjelaskan demikian. Alasan utama beralih ke kangkung karena memiliki nilai jual tinggi dari jagung. Selama ini, pengepul menjadi pihak ketiga yang meghubungkan petani atau pembudidaya dengan pihak pabrik yang nantinya membeli hasil panen para petani tersebut.
Proses Bermitra dengan Pabrik Pembeli Hasil Panen
Mulanya, petani atau pembudidaya yang berminat harus mendaftar terlebih dahulu, kemudian untuk bibit didapat dari pabrik. Sedangkan untuk kebutuhan pupuk, kata Pras, bisa berhutang dulu dengan pihak pabrik.
Berbeda dengan Pras, dalam hal pupuk, Sanusi lebih memilih membiayainya secara mandiri. Manurutnya, jika ditaksir secara ekonomi, bisa lebih berhemat dan terbilang lebih murah, sebab bisa dikontrol dan diatur sendiri. “Kalau saya dapat bibit 2 kg. Pupuknya saya usahakan sendiri,” ujar Sanusi, yang juga pertama kali memulai menanam kangkung di lahan persawahanya, dan sudah berjalan sekitar dua bulan.
Menurut perkiraan Sanusi, dana yang dikeluarkan untuk membeli pupuk selama dua kali pemupukan Rp 80 ribu.
Proses Penanaman dan Panen
Mengenai proses penanaman, pertama melakukan pembibitan baru kemudian dipindahkan ke lahan yang sudah disiapkan. Untuk perawatannya, dilakukan penyiraman sekaligus pemupukan. Umumnya, petani daerah tersebut menyebut dengan istilah “nyemprot”.
Butuh waktu 4 bulan, agar buah kangkung bisa dipanen. Selama masa pertumbuhan, kangkung memerlukan perawatan, yakni disemprot air sekaligus pupuk, dua kali dalam 4 bulan. Ketika sudah siap panen, jelas Sanusi, tanaman kangkung segera dipotong (bahasa Jawa: diret), lalu dijemur sampai kering sekitar 4-5 hari, selanjutnya digiling agar buah dan pohon terpisah.
Setelah itu, buah kangkung siap dimasukkan ke kantong sak dan siap dijual ke pengepul untuk disalurkan ke pabrik kosmetik yang menggunakan bahan dasar buah kangkung. Sedangkan ongsok atau pohon kangkung yang sudah masuk ke penggilingan bisa buat pakan sapi maupun kambing, atau dijual Rp 2.000/kg.
“Ya, sebenarnya, pabrik nantinya mau membeli seharga berapa pun, saya juga nggak tahu. Yang lebih tahu, ya pihak pengepul. Kami (para petani), hanya tahu harga yang dari pengepulnya itu,” pungkas Sanusi, pemilik lahan seluas 250 meter persegi yang saat ini ditanami kangkung. (Septia Annur Rizkia)