BANTUL – Semua bagian tanaman pohon pisang bisa dipergunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan manusia. Mulai dari bonggol (akar), batang (gedebog), daun, buah, dan jantung pisang. Selain buahnya mengandung aneka vitamin, daunnya bisa digunakan sebagai bungkus makanan, jantung pisang dapat dijadikan sayuran maupun obat-obatan herbal.
Namun, sejauh ini belum banyak yang tahu manfaat dari bonggol dan gedebok pisang. Umumnya, gedebok pisang sebatas digunakan alas tempe (tempe yang dikemas dengan alas gedebok). Begitu pula bonggol pisang yang sebagian orang menganggap tak lebih dari sampah organik.
Padahal, jika semua bagian pohon pisang diolah sebaik mungkin, akan punya nilai tambah tersendiri. Begitulah yang dilakukan Sri Purwanti (45). Perempuan yang akrab disapa Purwanti ini, berhasil mengolah bonggol dan juga gedebok pisang menjadi makanan ringan berupa keripik.
Produk Purwanti diberi nama Al-Barik. Produk-produk makanan hasil kreativitas Purwanti sudah dikenal banyak kalangan. “Al-Barik artinya barokah, berkah, bisa membawa berkah. Saya meyakini, ucapan adalah doa,” kata Purwanti saat ditemui beberapa waktu lalu di kediamannya di Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Awal Mula Geluti Aneka Olahan Makanan
Sebelum memproduksi aneka olahan tanaman pisang, perempuan kelahiran Klaten ini membuat kue basah atau jajanan pasar yang setiap hari dititipkan ke pasar maupun warung atau toko. Dari hasil penjualan, Purwanti bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp 300 ribu sehari.
Namun, ketika Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditimpa musibah gempa pada 2016 silam, keadaan banyak berubah. Kenang ibu dari tiga anak ini, semua yang berada di wilayah tempat tinggalnya terdampak. Rumah-rumah serta bangunan banyak yang roboh, tak terkecuali rumahnya.
Semua barang-barang berharga, termasuk peralatan memasak ikut serta rusak dan hancur akibat terkena reruntuhan bangunan. Warga yang terdampak hanya mengandalkan bantuan yang ada. Terkhusus, kebutuhan pokok seperti tempat tinggal, makan, serta pakaian.
Diceritakan Purwanti, saat itu ia kerap menerima kacang hijau dari para relawan yang telah banyak membantu. Dari situ, agar tak bosan dengan makanan pokok yang hampir sama setiap harinya, ia mengolahnya menjadi beragam kreativitas. Salah satunya dibuat rempeyek kacang hijau.
Di tengah masa pemulihan kondisi sesudah gempa, Purwanti berkeinginan membuka kembali usaha kuliner. Menyadari tak punya banyak modal, ia mencoba memanfaatkan bahan yang ada di sekitar untuk dijadikan produk yang belum ada di pasaran. Teringat dengan perkataan para simbahnya kalau bonggol maupun gedebok pisang bisa diolah dan dimakan, Purwanti mulai mempraktikannya.
Tepat pada 2006, Purwanti mulai mencoba mengolah dan memproduksi keripik bonggol yang selain enak, juga bisa bertahan lama. Meski awalnya sulit diterima pasar sebab dianggap terbuat dari sampah, tak lantas mengurungkan semangat Purwanti untuk terus mengeksplorasi bonggol pohon pisang dibikin keripik.
Pada 2010, dibantu para mahasiswa yang sedang mengadakan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), produk keripik bonggol pisang Purwanti diikutsertakan pada suatu pameran dan dipasarkan secara online. Lambat laun, keripik bonggol pisang mulai dikenal dan diterima di pasaran.
Mengenal Keripik Bonggol dan Gedebok Pisang
Terbuat dari bahan dasar bonggol pisang, jelas Purwanti, resepnya sama dengan pembuatan keripik pada umumnya. Terkait cita rasa, selain renyah, gurih, rasanya hampir seperti pangsit, dan terasa pas di lidah. “Sama sekali nggak gatel. Malah, banyak yang bilang enak dan nggak nyangka kalau itu terbuat dari bonggol pisang,” tutur Purwanti.
Sebelumnya, saat angka produksi belum banyak, Purwanti masih seorang diri. Bonggol pohon pisang juga didapat dari ladangnya. Seiring meningkatnya jumlah produksi, Purwanti dibantu beberapa karyawan yang merupakan tetangga sendiri. Serta, bonggol pisang juga disuplai dari warga di sekitar tempat tinggalnya seharga Rp 5 ribu perbonggol.
Diketahui pula, usai diuji di laboratorium oleh mahasiswa PKM yang sempat membantu Purwanti, bonggol pisang mengandung protein, mineral, vitamin, dan serat. Sehingga, baik dan sehat untuk sistem pencernaan. Sama halnya kandungan gedebok pisang.
Diterangkan Purwanti, biaya produksi senilai Rp 120 ribu bisa menghasilkan produk senilai Rp 280 ribu. Ketika ramai, Purwanti bisa menghabiskan 15-20 kg bonggol pisang tiap kali produksi, yang ketika dikemas menjadi 200 bungkus, seharga Rp 6 ribu tiap bungkus (dulunya), dan Rp 8 ribu- Rp 10 ribu perbungkus kemasan 100 gram (saat ini). Dalam kurun seminggu, Purwanti bisa 3-4 kali produksi.
Sebelum pandemi, omzet Purwanti bisa mencapai Rp 30 juta-Rp 50 juta sebulan. Sedangkan selama pandemi, Purwanti mengaku jumlah produksinya turun drastis. Sehingga, karyawan yang dulunya ada 1, 2, 4, kemudian 6, diberhentikan sementara waktu.
Mengenai proses pembuatan keripik bonggol, ungkap Purwanti, bonggol pisang diambil dari pohon pisang yang telah dipanen. Selanjutnya, dikupas sampai bersih, kemudian direndam menggunakan air kapur untuk menghilangkan getah. Setelah itu diiris tipis-tipis, dicuci lagi sampai bersih, dan ditiriskan. Dilanjut membuat adonan yang terbuat dari tepung beras, tepung tapioka, bawang merah, bawang putih, garam, ketumbar, santan atau telur. Usai bonggol dimasukkan ke adonan yang sudah jadi, langkah selanjutnya digoreng di atas minyak panas.
Sedangkan untuk keripik gedebok pisang, yang diambil nantinya pelepah kulit bagian tengah. Setelah dipotong-potong, direndam dengan air garam selama 1 jam untuk menghilangkan getah. Dicuci bersih, ditiriskan, dimasukkan adonan, kemudian digoreng.
Dijelaskan Purwanti, kecuali pisang raja, semua jenis pohon pisang bisa digunakan membuat keripik bonggol maupun keripik gedebog pisang. “Yang paling enak pisang kepok dan klutuk,” ujar Purwanti.
Keripik Bonggol, Gedebok Pisang, dan Macam-macam Produk Olahan Purwanti
Berawal dari keripik bonggol, berkembang ke keripik lainnya. Mulai dari keripik gedebok pisang yang kandungannya hampir sama dengan bonggol, ada pula keripik kulit pisang, keripik pare, keripik jamur, keripik cabai, keripik pisang. “Karena terbiasa, bagi saya semuanya mudah,” kata Purwanti.
Meski demikian, yang sering dikeluhkan orang-orang yang pernah belajar dengan Purwanti, ialah pembuatan bonggol pisang. Sebab, selain prosesnya cukup panjang, tanah yang digunakan menanam pohon pisang juga beda-beda. Sehingga, hasilnya banyak yang kurang bagus.
Kerap Diundang Jadi Narasumber
Sebagai pencetus ide keripik bonggol pisang, nama Purwanti cukup dikenal. Terbukti semenjak 2015 hingga saat ini, ia kerap keliling ke berbagai penjuru Nusantara, diundang menjadi narasumber di berbagai kota bahkan ke luar Jawa dan luar negeri. Seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Gorontalo, Palu, Maluku, Bali; Karangasem, Buleleng, lalu Karanganyar, Subang, Purwokerto, Magelang, pernah pula ke India dan Bangladesh.
“Paling banyak kemarin di Sumatera. Usai Lebaran 2021, ini juga ada undangan lagi ke luar Jawa,” tandasnya kemudian.
Selama diundang menjadi narasumber, materi yang disampaikan Purwanti berbeda-beda. Yakni menyesuaikan proposal dari pihak yang mengundang. Semisal di Bali, Purwanti diminta membuat rengginang rasa bawang, terasi, maupun sambal bawang. Ditambah, keripik bonggol pisang.
“Di mana-mana, kalau pelatihan pasti selalu melenceng dari skedul. Saking semangatnya, para peserta kerap minta tambahan. Di mana-mana, juga selalu pada minta ada pelatihan keripik bonggol dan gedebok pisang,” ungkap Purwanti.
Sedangkan saat pelatihan di Samosir, Purwanti diminta membuat olahan dari nanas, pisang, dan sasagun. Terkait bahan-bahan untuk pelatihan pengolahan makanan, lanjut Purwanti, semuanya ditanggung pihak yang mengundang. Termasuk transpor, serta ada pula honor yang diterima berdasarkan jam. Sejauh ini, ia kerap diajak kerja sama diundang oleh Kementerian Perindustrian dan Bimtek Pengolahan Pangan. Selain itu ada juga undangan dari instansi perkantoran, UMKM, masyarakat biasa, hingga pejabat negara.
Selama diundang menjadi narasumber di beberapa pelatihan, Purwanti menerima segala permintaan. Baik pengolaham makanan khas kota maupun daerah masing-masing. “Di setiap tempat, masyarakatnya beda-beda. Terus saat mencicipi makanan olahan saya saat pelatihan, pada terkagum-kagum dan senang,” paparnya.
Berangkat dari lulusan SMP, Purwanti mengaku tak punya latar belakang pendidikan tata boga. Hanya, dulu ia sempat kursus memasak. Selebihnya, mencoba aneka resep saat masih mengontrak dan berprofesi ibu rumah tangga di awal-awal pernikahan. Belajar dan selalu berinovasi menjadi prinsip dasar Purwanti untuk mengembangkan kemampuan memasaknya.
Proses Pemasaran dan Beragam Penghargaan
Terkait proses pemasaran, selain dititipkan ke toko atau swalayan, Purwanti juga bekerja sama dengan biro wisata. Sejauh ini sudah ada 10 bus pariwisata yang kerap membawa penumpangnya mampir ke rumah produksi milik Purwanti. Selain membeli oleh-oleh jajanan aneka keripik matang, mereka juga tertarik melihat proses pengolahan produk di Al-Barik.
Dijadikan satu paket wisata edukasi, para pengunjung rela menempuh jarak 1 km dari jalan raya ke desa tempat produksi, salah satunya untuk bisa menikmati suasana pedesaan yang dikelilingi persawahan. Namun, selama pandemi, kunjungan bus-bus wisata mulai sepi, bahkan belum ada lagi. Selain itu, Purwanti juga memasarkan produknya secara online.
Tak lupa, Purwanti juga sempat memperlihatkan beragam sertifikat maupun penghargaan selama menjadi narasumber pelatihan pengolahan makanan. Mulai dari lokal hingga mancanegara, terlihat bertumpuk-tumpuk dibawanya dari dalam rumah.
Beberapa di antaranya, anugerah juara 1 dari Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 2015, Sertifikat penghargaan dari Daffodil International University pada 2016, ada pula piagam peghargaan bintang 3 dari Menteri Perindustrian RI pada 2015. (Septia Annur Rizkia)